"Google sudah diberikan SPHP, konsekuensinya harus dijawab wajib pajak, benar atau tidak temuan pemeriksa," kata Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dikutip dari Antara, Senin 20 Februari 2017.
Ken memastikan pemberian SPHP ini merupakan tahap lanjutan dari pemeriksaan pajak terhadap perusahaan teknologi informasi asal Amerika Serikat tersebut.
baca : Menanti Pajak Google
Namun, ia belum bisa memastikan jawaban Google atas SPHP tersebut dan nominal pungutan pajak yang ditetapkan oleh DJP, karena hal itu merupakan ranah dari pemeriksa.
"SPHP itu begini, kalau saya temukan koreksi 10, terus misalnya (klarifikasi) dijawab cuma tujuh. Tapi aku belum tau nilainya, karena itu pemeriksa yang urus," ujar Ken.
Terkait keengganan Google untuk ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT), karena tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan di OECD, Ken menegaskan pungutan pajak di Indonesia telah sesuai dengan hukum pajak yang berlaku.
"Indonesia bukan anggota OECD, kita tidak tunduk pada OECD. UU kita sudah yang paling benar," katanya.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id