Di Zimbabwe untuk membeli tiga butir telur dihargai sebesar 1 miliar dolar Zimbabwe. Artinya nilai mata uang mereka sangat jatuh di hadapan mata uang lain, seperti USD. Dody menghawatirkan Indonesia akan mengalami hal serupa karena nilai mata uangnya terlalu murah.
"Sekarang saja USD1 dihargai Rp13.000,-an. Padahal di negara lain itu cuma ratusan untuk USD1," kata Dody, di Gedung BI, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin malam 29 Mei 2017.
Dirinya mengatakan, artinya nilai mata uang rupiah terlalu murah. Sementara di negara lain nilai ribuan itu sangat besar harganya. Padahal, secara besaran inflasi, Indonesia tak jauh beda dengan negara lain. Namun tak masuk diakal jika nilai mata uangnya terlalu rendah. Menurutnya, jika redenominasi dilakukan, maka akan lebih efisien dan tentu akan lebih memiliki kebanggaan karena nilai mata uangnya tak terlalu murah.
Baca: Ini Pertimbangan BI Sebelum Terbitkan Redenominasi Rupiah
Dody mengatakan BI sebenarnya sudah siap jika dimintai pandangan mengenai kajian mengenai redenominasi. Hanya saja, BI tak punya hak untuk mengajukan pembahasan RUU Redenominasi. Inisiatif untuk membahas datang dari Pemerintah atau DPR, meski sebenarnya dua tahun lalu RUU Redenominasi pernah masuk prolegnas.
Dia menjelaskan, waktu yang tepat untuk meredenominasi rupiah yakni ketika kondisi makro negara dalam keadaan yang bagus. Dia bilang, sekarang ini pun terbilang bagus, sebab, inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi pun bagus. Hanya saja perlu dilihat waktu transisinya.
"Perlu waktu transisi 5-6 tahun untuk mengenalkan uang dalam nilai yang baru pada masyarakat. Jangan sampai kaget ada dua nilai mata uang. Perlu disosialisasikan redenominasi hanya perubahan ke desimal saja. Itu akan kurangi terjadinya salah paham. Yang terpenting ketika ada dua nilai mata uang, harga barangnya sama, baik dibeli pakai uang lama atau uang baru," ujar Dody.
Sementara itu, Direktur Departemen Pengelolaan Uang, Decymus mengatakan secara alamiah, nantinya peredaran uang lama tentu akan hilang dan digantikan uang baru. Sebagai contoh uang cetakan tahun 2009 enggak ada lagi atau hilang di 2019. Masuklah uang emisi yang baru.
"Masyarakat enggak akan sadar kok nanti uang yang lama secara amiah dicabut masa berlakunya," kata Decymus.
Dirinya menambahkan, kiblat atau negara yang menjadi benchmark dalam meredenominasikan mata uang yakni negara-negara di Eropa. "Jadi dipilih negara yang melakukan redenominasi enggak ada (menimbulkan) gejolak," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News