Ilustrasi. (FOTO: Reuters)
Ilustrasi. (FOTO: Reuters)

Kaleidoskop 2016

2016, Rupiah Tenang Dihantam Badai Eksternal

Eko Nordiansyah • 30 Desember 2016 07:12
medcom.id, Jakarta: Mata uang rupiah bergerak cukup variatif sepanjang tahun ini. Dengan sempat menyentuh level Rp13.964 per USD pada 20 Januari 2016, rata-rata nilai tukar bergerak pada rentang Rp13.300 hingga Rp13.500 per USD.
 
Mengutip data Bloomberg, rupiah di awal tahun ini bergerak pada level Rp13.830 per USD. Pergerakan rupiah paling tinggi sebesar Rp13.964 per USD yang terjadi pada 20 Januari. Selanjutnya rupiah terus mengalami penguatan. Bahkan pada 10 Maret rupiah berada pada level Rp13.052 per USD. 
 
Sayangnya rupiah pada akhir Maret kembali mengalami pelemahan hingga menyentuh Rp13.395 per USD. Pada rentang April hingga Mei rupiah terpantau fluktuatif namun cenderung menguat dibandingkan posisi akhir Maret.

Baca: Sepanjang November 2016, Kurs Rupiah Melemah di Perdagangan Global
 
Berbagai gejolak yang datang akibat fenomena global menganggu perjalan rupiah untuk bergerak lebih stabil di sisa tahun ini. Sebut saja usai terjadinya referendum Inggris Raya untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit), rupiah terkapar di level Rp13.300-an per USD.
 
Pada awal Juni rupiah kembali melemah, tercatat pelemahan paling dalam terjadi pada level Rp13.661 per USD. Namun pelemahan rupiah tak berlangsung lama sebab pada 8 Juni rupiah kembali berada pada level Rp13.269 per USD. 
 
Sampai akhirnya Brexit kembali menekan rupiah, terbukti pada 24 Juni rupiah menyentuh Rp13.391 per USD setelah sehari sebelumnya bertengger di posisi Rp13.248 per USD. Pelemahan rupiah terus berlangsung hingga di akhir Juni dengan Rp13.210 per USD.
 
Bank Indonesia (BI) meyakini jika pelemahan rupiah akibat Brexit tak akan berlangsung lama. Selain karena Brexit telah diantisipasi, bank sentral juga menilai jika perdagangan Indonesia dengan Inggris tidak terlalu besar. 
 
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara  mengatakan, dampak daripada Brexit tak akan separah krisis global di 2008 lalu. Pasalnya, gejolak yang ditimbulkan dari Brexit hanya bersifat sementara sehingga tak akan menganggu perekonomian global.
 
"Gejolak keuangan sempat terasa di Asia, tapi itu sifatnya temporer. Karena menurut kami berbeda antara supreme mortgage dengan Brexit," jelas Mirza.
 
Usai Brexit, volatilitas rupiah cenderung lebih stabil. Namun jelang akhir tahun, badai eksternal kembali menghantui rupiah usai kemenangan Presiden terpilih AS Donald Trump. Pelemahan terjadi beberapa hari usai Trump terpilih hingga rupiah berada pada Rp13.383 per USD.
 
Baca: Pengaruh Trump Bawa Pelemahan Rupiah hingga Dua Pekan
 
Gubernur BI Agus Martowardojo mengakui, sejak Trump menjadi presiden terpilih negara adi daya pada 9 November 2016 hingga 16 November 2016, rupiah telah mengalami depresiasi sebesar 2,3 persen.
 
"Sejak 8 November sampai 16 November memang rupiah terdepresiasi. Depresiasi rupiah sebesar 2,3 persen," kata Agus di kantor BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
 
Pelemahan rupiah terus berlanjut hingga akhir November serta awal Desember. Pada 1 Desember rupiah berada pada Rp13.565 per USD. Beruntung pelemahan rupiah tak berlanjut bahkan hingga the Fed menaikkan suku bunganya, rupiah stabil di level Rp13.300-an per USD.
 
Di sisi lain, suasana perpolitikan di Indonesia yang sempat memanas jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak terlalu banyak menganggu rupiah. Bahkan dua kali demo besar yang dilakukan di Jakarta diyakini banyak pihak bukan suatu yang perlu dikhawatirkan membuat volatilitas terhadap rupiah.
 
"Demo kan suatu yang biasa. Demo setiap Minggu juga ada, enggak harus kita anggap luar biasa, volatility suatu yang biasa. BI hadir di pasar. Kalau volatilitinya besar BI hadir di pasar valas, SBN. BI juga terus cukupkan likuditas yang ada di pasar. Kalau pasar memang ada tambahan likuiditas, BI pasti tambah likuiditas," ungkap Mirza.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan