Melalui instrumen fiskal yakni anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2016, pada saat Menteri Keuangan masih dijabat oleh Bambang Brodjonegoro, pemerintah diberi mandat untuk mengumpulkan penerimaan negara dalam negeri sebesar Rp1.820,5 triliun yang mana di dalamnya untuk penerimaan pajak ditargetkan Rp1.360,2 triliun dan tax ratio atau rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah 13 persen. Selain itu, belanja negara ditetapkan pagunya sebesar Rp2.095,7 triliun.
Pada APBN pertama yang disusun sendiri di masa Pemerintahan Presiden Jokowi, sebenarnya banyak kalangan termasuk DPR sebagai pihak yang membahas UU APBN memandang target penerimaan pajak terlalu bombastis karena mengalami kenaikan yang drastis yakni 30 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, menilik capaian di 2015 hanya terkumpul 81,5 persen dari target Rp1.294,5 triliun.
Apalagi, kondisi perekonomian sedang dilanda ketidakpastian. Harga komoditas masih lesu ditambah minyak dunia yang anjlok dan sempat mencapai level USD30 per barel.
Baca: Perbaikan Tata Kelola Fiskal Perkuat Ketahanan Ekonomi Indonesia
Pemerintah pun memasang tampang optimistisnya menghadapi penilaian yang ada. Sepertinya bagi Pemerintah adalah sebuah keharusan menaruh target tinggi karena harus membiayai belanja yang juga besar. Seperti halnya untuk kebutuhan infrastruktur yang dinaikkan dan posisinya melebihi Rp300 triliun, juga transfer daerah dan dana desa yang lebih besar dibanding belanja kementerian dan lembaga (K/L).
Hal ini dilakukan untuk menciptakan tujuan Presiden Jokowi yang menginginkan pemerataan di seluruh Indonesia atau dikenal dengan istilah desentralisasi mulai dari pinggiran.
Sayangnya di tengah jalan, rasa optimisme Pemerintah menciut. Sadar jika sulit untuk mengumpulkan pundi-pundi negara melalui pajak. Hal itu terlihat dari capaian di pertengahan tahun yang masih, pemerintah akhirnya mengeluarkan jurus untuk menarik minat masyarakat membayar pajak. Jurus tersebut bernama tax amnesty atau pengampunan atas dosa pajak dengan memberi diskon tarif rendah.
Dengan kebijakan tersebut, diharapkan wajib pajak yang selama ini memendam informasi asetnya bisa lebih terbuka di samping juga tujuan lainnya yakni membawa kembali uang WNI yang terparkir di luar negeri untuk masuk ke Tanah Air. Usulan ini pun direstui DPR meski diwarnai berbagai pertentangan. Dari jurus ini, ada harapan pajak bisa terkumpul Rp165 triliun.
Sejalan dengan hadirnya tax amnesty, revisi target dan juga pagu dilakukan. UU APBN-Perubahan 2016 disepakati pada Juni 2016. Pada usulan awal APBNP, Pemerintah menurunkan target penerimaan negara dari Rp1.820,5 triliun menjadi Rp1.732,5 triliun di draf RUU. Namun kesepakatannya malah lebih tinggi dari yang diajukan, alhasil penerimaan negara meningkat Rp51,7 triliun menjadi Rp1.786,2 triliun dari usulan perubahan, meski dari APBN induk memang lebih rendah.
Begitu juga belanja negara diajukan dipangkas jadi Rp2.047,8 triliun malah mengalami kenaikan Rp35,1 triliun jadi Rp2.082,9 triliun. Meski juga sebenarnya mengecil dibanding pagu di APBN induk.
Meski sudah berjuang dengan menggolkan tax amnesty, namun nampaknya presiden Jokowi tak puas dengan kinerja Bambang Brodjonego. Di agenda reshuffle kabinet, Bambang dipindah sebagai Kepala Bappenas, dan jabatan Menteri Keuangan diisi dengan kembalinya srikandi Indonesia, Sri Mulyani Indrawati yangpamit drai jabatannya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Ani sapaan akrab Sri Mulyani dilantik pada 27 Juli. Sehari setelah dilantik, Ani langsung tancap gas dengan mengadakan rapat pimpinan bersama para dirjen di lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam rapat tersebut, Ani menyingkronkan berbagai kemungkinan mengenai fiskal negara.
Kurang dari dua minggu menjabat sebagai Menteri Keungan, Ani langsung mengusulkan pada Presiden untuk memangkas anggaran belanja sebesar Rp147,6 triliun yang terdiri dari anggaran belanja K/L Rp64,7 triliun serta transfer daerah dan dana desa Rp72,9 triliun di mana di dalamnya terdapat penundaan dana bagi hasil (DBH) Rp16,8 triliun. Perhitungannya bukan asal pangkas, tapi berdasarkan pengalaman di tahun yang sudah-sudah jika penyerapan belanja tak akan 100 persen.
Baca: Amnesti Pajak dan Polemik Gagal Fiskal
Pemangkasan tersebut juga didasarkan adanya potensi shortfall penerimaan negara (selisih antara target dan capaian) Rp219 triliun atau khusus untuk pajak saja Rp216 triliun. Maka dengan dalih ingin membuat fiskal Pemerintah lebih kredibel, usulan tersebut pun diputus di sidang kabinet. Ani memandang target-target sebelumnya kurang realistis.
Menurut sumber Metrotvnews.com, memang Menteri Keuangan sebelumnya tak berani untuk mengecewakan Presiden dengan berterusterang mengatakan kondisi fiskal yang sebetulnya dilanda kegalauan.
Dengan menggunakan pasal khusus dalam UU APBNP 2016, Pemerintah tak perlu meminta izin khusus dengan melakukan revisi APBNP. Pemerintah hanya perlu soan atau sifatnya pemberitahuan. Karena dalam pasal 26 tertera bahwa dalam hal realisasi penerimaan negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran negara pada saat tertentu, kekurangan dapat dipenuhi dari saldo anggaran lebih (SAL), penerbitan surat berharga negara (SBN), atau penyesuaian belanja.
Selain menggunakan pasal 26, disebutkan dalam UU Keuangan Negara juga mengingatkan untuk mengelola keuangan negara secara tertib, efisien dan sesuai dengan tata aturan. "Jadi kita gunakan peraturan yang ada, agar penyesuaian ini kredibel, taat aturan dan jadi landasan untuk kredibel," kata Ani.
Dengan adanya potensi shortfall Rp219 triliun, maka target penerimaan negara menjadi Rp1.567 triliun atau khusus untuk pajak yakni menjadi Rp1.139,2 triliun. Angka itu dianggap Ani sebagai hitungan realistis sebagai basis dalam menghitung target penerimaan di tahun mendatang. Jadi, pertumbuhan penerimaan bukan dihitung dari berapa target di tahun sebelumnya. Namun, berlandaskan pada berapa realisasi yang mampu terkumpul di tahun sebelumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News