Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

Ekonomi Indonesia Diprediksi Melambat di Kuartal IV

M Ilham Ramadhan • 08 November 2022 20:00
Jakarta: Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bakal melambat pada kuartal IV-2022 menjadi 5,3 persen setelah di kuartal III mencatatkan pertumbuhan 5,72 persen. Dengan begitu, sepanjang 2022 ini pertumbuhan ekonomi nasional ditaksir mencapai 5,1 persen.
 
Direktur Riset dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardya menyatakan perlambatan terjadi utamanya disebabkan oleh hitungan perbandingan secara tahunan. Menurutnya, itu pula yang terjadi pada realisasi pertumbuhan kuartal III-2022.
 
"Kuartal III-2022 itu kami pandang sebagai puncaknya, karena memang pada kuartal III tahun lalu, pertumbuhan kita rendah. Jadi di kuartal IV nanti kemungkinan perlambatan itu ada, sebab pada kuartal IV tahun lalu, pertumbuhan kita sudah sangat tinggi," jelasnya dalam rilis pers bertema Waspada Perlambatan Ekonomi Akhir Tahun secara daring, Selasa, 8 November 2022.

Berly menyampaikan, kondisi perekonomian kuartal IV-2022 juga diprediksi bakal lebih berat ketimbang kuartal III. Ini karena berdasarkan pola musiman, pada akhir tahun mayoritas kelompok masyarakat menengah atas melakukan liburan ke luar negeri.
 
Alih-alih menggedor perekonomian dalam negeri, kegiatan itu justru menggerus potensi ekonomi domestik. Ini dinilai berpotensi besar terjadi setelah selama dua tahun berturut-turut masyarakat tidak dapat bepergian ke luar negeri akibat pandemi covid-19.
 
Faktor lainnya ialah adanya tren pengetatan kebijakan, baik dari sisi fiskal maupun moneter pascapandemi. Ketatnya stimulus di dua sektor itu dinilai akan menjadi tantangan tersendiri pada kuartal IV-2022 dan berikutnya.
 
Belum lagi adanya ancaman inflasi di dalam negeri. Meski saat ini tingkat inflasi umum Indonesia relatif terkendali, potensi peningkatan masih dapat terjadi dan berimplikasi pada tertahannya pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
 
Untuk itu, kata Berly, pemerintah didorong untuk mengoptimalisasi sumber dukungan yang ada. Belanja negara, misalnya, didorong untuk direalisasikan agar dapat menyuntik denyut perekonomian nasional.
 
"Jadi belanja barang dan modal pemerintah yang berkualitas itu harus dilakukan di sisa tahun ini. Saat ini realisasinya masih rendah, yaitu 66,44 persen untuk belanja barang dan 66,83 persen untuk belanja modal," terangnya.
 
Baca juga: Indef Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI di 2022 Jadi 5,1%

 
Di kesempatan yang sama, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyatakan, Bank Indonesia selaku otoritas moneter juga mesti cermat dalam mengambil kebijakan suku bunga acuan. Jangan sampai, langkah yang diambil terlalu agresif dan justru berdampak buruk bagi perekonomian.
 
"Kalau inflasi cenderung tidak tinggi ke depan dengan outlook di bawah enam persen, itu harusnya dalam menaikkan suku bunga harus moderat, untuk mengimbangi saja," kata dia.
 
"Kalau agresif, implikasinya adalah pertumbuhan ekonomi kita terhambat dengan cara kita sendiri, dengan disengaja. Jadi kalau pun harus naik, itu harusnya level moderat, apalagi kalau inflasinya tidak naik. Ini karena sektor riil butuh supply kredit yang cukup untuk memastikan terhindar dari perlambatan ekonomi," tambahnya.
 
Naiknya suku bunga acuan bank sentral tak dipungkiri bakal mengerek tingkat bunga kredit perbankan. Dikhawatirkan tingginya bunga acuan BI akan memperketat likuiditas perbankan dan menghambat penyaluran pinjaman yang saat ini memiliki tren bertumbuh.
 
Per September 2022, misalnya, tingkat penyaluran kredit perbankan berada di level 10,8 persen. Di satu sisi, ini menggambarkan pulihnya perekonomian lantaran aktivitas konsumsi bertumbuh. Namun di saat yang sama tingkat Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami penurunan dari 8,2 persen di Agustus 2022 menjadi 7,2 persen di bulan berikutnya.
 
"Kalau posisi demikian, artinya besar kemungkinan memang akan ada perang bunga (perbankan), untuk menjaga likuiditas. Mengupayakan ada lebih di dalam likuiditasnya, sehingga bank menaikkan bunga, ini sejalan dengan tren global. Ini ke depan tidak bisa dihindari," kata Eko.
 
"Kalau bunga (perbankan) naik, otomatis lama kelamaan akan memperlambat permintaan kredit dan berakhir pada perlambatan ekonomi. Jadi kalau ada penyesuaian kebijakan suku bunga (BI), itu harus moderat dengan melihat inflasi," tambahnya.
 
Menyoal resesi dunia, Indef meyakini Indonesia tak akan mengalami hal serupa. Namun itu bukan berarti Indonesia jemawa lantaran sejumlah tantangan menanti di depan mata.
 
Perlambatan ekonomi diperkirakan tetap terjadi meski tak akan bermuara pada resesi. Namun kewaspadaan tetap diperlukan agar apa yang terjadi pada ekonomi global tak merembes ke dalam negeri.
 
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan