Namun, ada gap atau kesenjangan pendanaan mencapai Rp458,2 triliun. Data ini berdasarkan paparan yang ditampilkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam acara Energy Transition Conference & Exhibition 2023 di Jakarta.
Ia mengatakan dibutuhkan biaya yang amat besar untuk mencapai netralitas karbon di 2060. Dari data bertajuk Skenario Dekarbonisasi dalam RPJPN 2025-2045, tertulis dalam kondisi ideal, pemerintah dan swasta mengalokasikan dua persen dari investasinya ke investasi hijau. Tapi, masih terdapat gap investasi sebesar Rp458,2 triliun dari 2025-2060.
"Memang pendanaan dekarbonisasi ini secara visibilitas finansial mahal," ujar Suharso, Rabu, 18 Oktober 2023.
Menurut data Bappenas, penerapan kebijakan pembiayaan hijau alternatif seperti realokasi subsidi, pajak karbon, dan perdagangan karbon dapat mengisi 84 persen dari gap tersebut, sehingga masih diperlukan pendanaan inovatif lainnya dan investasi hijau berkelanjutan.
Pemerintah, terang Suharso, tengah menjajaki peluang pendanaan blended finance atau skema pembiayaan dengan mengkombinasikan beberapa sumber pendanaan dari pemerintah maupun dari swasta atau donor.
"Kami di Bappenas juga mendorong adanya blended finance dalam program transisi energi," sebutnya.
Investasi jumbo yang dibutuhkan pemerintah antara lain untuk memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan membangun sejumlah pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dalam program transisi energi di Tanah Air.
"Jadi, kita membutuhkan (pembangkit) tenaga surya, tenaga angin, bahkan mempertimbangkan pembangunan pembangkit nuklir. Pekerjaan rumah besar kita juga ialah memensiunkan PLTU," kata dia.
Baca juga: Kemenperin Godok Strategi Agar Tak Jadi Kambing Hitam Masalah Emisi |
APBN tak mampu sokong kebutuhan
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menilai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak mampu untuk menyokong kebutuhan investasi dekarbonisasi sebesar Rp794,8 triliun tiap tahunnya.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan bantuan dari asing untuk merealisasikan program-program transisi energi di Tanah Air.
Indonesia, kata Djoko, telah mendapatkan komitmen pendanaan sebesar USD20 miliar atau sekitar Rp314 triliun (kurs Rp15.732) dari negara maju melalui program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Ya kalau kita menuju NZE di 2060 kan memang besar sekali ya (investasinya), makanya kita minta bantuan internasional di Presidensi G20 Bali di 2022 dengan USD20 miliar. Ya gap itu karena APBN kita tidak memungkinkan dapat dana sebesar itu," tegas dia.
Melalui Sekretariat JETP, Djoko mengatakan Pemerintah Indonesia menggodok proyek-proyek apa saja yang akan diimplementasikan dari pendanaan JETP yang dituangkan dalam Comprehensive Investment Plan (CIP).
"Kita masih terus rapat mengenai standar operasional prosedur atau SOP penggunaan USD20 miliar dalam bentuk proyek-proyek. Seperti Jerman, meminta agar proyeknya itu langsung bermanfaat untuk masyarakat lewat pembangkit minihidro," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News