Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengumpulkan jajarannya di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk membahas hal itu dan upaya dekarbonisasi sektor industri menuju target net zero emission (NZE).
“Jangan lagi, kalau ada problem atau masalah yang berdampak ke masyarakat, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan polusi, kita di Kementerian Perindustrian dijadikan kambing hitam. Tidak boleh lagi itu terjadi. Oleh sebab itu kita menggelar rapat ini dengan tema dekarbonisasi sektor industri menuju target net zero emissions pada 2050,” kata Agus, dilansir Antara, Rabu, 11 Oktober 2023.
Mengangkat tema Penyusunan Rencana Aksi Dekarbonisasi Sektor Industri Menuju Target Net Zero Emission (NZE) 2050, rapat kerja tersebut diakui Menperin sebenarnya telah direncanakan sejak lama. Begitu pula tema yang diangkat.
Baca juga: Tak Hanya Kendaraan, Produksi Baterai pun Ditargetkan Bebas Emisi |
“Memang tema yang akan dibahas hari ini sudah diputuskan dalam beberapa waktu lalu. Ini juga bukan karena dalam tiga bulan terakhir Indonesia atau Jakarta, menghadapi serangan polusi udara. Bukan. (Raker ini) bukan sesuatu yg defensif bagi Kemenperin,” jelas dia.
Agus juga memastikan gelaran rapat kerja dilakukan sebagai upaya aktif Kemenperin dalam menghadapi isu dekarbonisasi yang tengah jadi tren global, termasuk di sektor industri.
Dekarbonisasi untuk kurangi emisi gas rumah kaca
Dekarbonisasi merujuk pada proses mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.Sebagai negara dengan populasi besar dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Indonesia menjadi salah satu kontributor utama emisi karbon di tingkat regional, bahkan di tingkat global.
Oleh karena itu, langkah-langkah dekarbonisasi di Indonesia, termasuk di manufaktur, menjadi semakin penting, khususnya untuk sektor industri.
Agus pun mengungkapkan setidaknya ada lima hal yang membuat upaya dekarbonisasi menjadi perhatian Kemenperin. Pertama, yaitu kebutuhan pasar atas produk hijau yang terus meningkat seiring kesadaran green lifestyle (gaya hidup ramah lingkungan) dari konsumen untuk menggunakan produk yang rendah karbon.
Faktor kedua, adanya kerentanan akibat perubahan iklim dan bencana yang mengakibatkan gagal panen dan krisis air yang mengganggu pasokan bahan baku industri.
Faktor ketiga, adanya regulasi negara tujuan ekspor Indonesia yang mewajibkan praktik berkelanjutan seperti CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) dan EUDR (EU Deforestation Regulation).
Keempat, yakni telah berdirinya pasar karbon nasional dan menggeliatnya pasar modal dan investasi yang mengadopsi aspek keberlanjutan terutama dekarbonisasi.
Serta faktor kelima, kontribusi terhadap komitmen negara dalam konvensi internasional seperti Persetujuan Paris, Konvensi Stockholm, dan Konvensi Minamata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News