Mengutip data Bloomberg, Selasa, 17 September 2024, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.335 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat sebanyak 66 poin atau setara 0,43 persen dari posisi Rp15.401 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
"Pada perdagangan sore ini, mata uang rupiah ditutup menguat 66 poin walaupun sebelumnya sempat menguat 70 poin di level Rp15.335 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp15.401 per USD," kata analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis hariannya.
Sementara itu, data Yahoo Finance juga menunjukkan rupiah berada di zona hijau pada posisi Rp15.330 per USD. Rupiah menguat sebanyak 64 poin atau setara 0,41 persen dari Rp15.394 per USD di penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sedangkan berdasar pada data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di level Rp15.338 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik 67 poin dari perdagangan sebelumnya di level Rp15.405 per USD.
Baca juga: Penguatan Laju Rupiah Dipicu Pemotongan Suku Bunga The Fed |
Neraca perdagangan surplus lagi
Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus per Agustus 2024 sekaligus mencatatkan surplus 52 bulan beruntun. Tercatat hasil keuntungan perdagangan barang dan jasa atau trade balance Indonesia dengan negara lain membukukan surplus senilai USD2,9 miliar pada Agustus 2024, sejalan dengan meningkatnya ekspor dan impor melambat.
Surplus NPI ditopang oleh komoditas nonmigas yakni bahan bakar mineral atau HS 27, lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), serta Besi dan Baja (HS 72). Ekspor nonmigas Indonesia pada Agustus 2024 tercatat mencapai USD22,36 miliar, meningkat 7,43 persen dibandingkan dengan Juli 2024.
"Kenaikan ini terutama ditopang oleh peningkatan ekspor produk lemak dan minyak nabati, biji logam, serta terak dan abu," papar Ibrahim mengutip laporan BPS.
Secara keseluruhan, ekspor Indonesia pada Agustus mencapai USD23,56 miliar, mengalami kenaikan 5,79% dari bulan sebelumnya. Namun, sektor migas mencatat penurunan, sementara nonmigas mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Capaian ini di tengah kondisi pasar utama, seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang tengah dalam kondisi Indeks Manufaktur (PMI) mengalami kontraksi. Pada saat yang sama, beberapa komoditas mengalami penurunan harga, terutama di sektor energi, pertanian, dan logam mineral.
"Namun, logam mulia, khususnya emas, mencatat peningkatan harga yang cukup signifikan," ungkap Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News