Mereka mulai mengencangkan kebijakan penghentian pinjaman ke sektor batu bara, seperti yang diberitakan oleh media Singapura Strait Times.
“Eksposur kami di anak perusahaan Adaro yang terlibat di sektor batu bara termal akan berkurang secara signifikan di akhir 2022. Kami tidak ada niat untuk memperbarui pendanaan jika entitas bisnis tersebut masih didominasi batu bara termal," kata juru bicara dari DBS mengutip Strait Times, Rabu, 7 September 2022.
Di tahun 2021, batu bara menyumbangkan 96 persen dari pendapatan Adaro, tanpa ada rencana untuk mengurangi ketergantungan dari batu-bara. Sedangkan, DBS berkomitmen untuk mengurangi eksposur batu bara sampai dengan nol di tahun 2039.
Baca juga: Saldo Kas Perusahaan Batu Bara Capai USD6,8 Miliar, Ini Waktunya Diversifikasi Bisnis |
Saat ini, batu bara merupakan industri yang akan hilang di masa depan (sunset), hal ini lah yang mendorong pendana meninggalkan batu-bara.
“Keputusan institusi keuangan global semacam ini menunjukkan bahwa masa depan cerah bagi industri batu bara hampir sulit terjadi. Padahal Adaro menjadi salah satu perusahaan batu bara terbesar yang mendapatkan laba jumbo dari masa windfall batubara. Namun,tetap saja hal ini tidak mampu mengurungkan niat lembaga finansial untuk segera menarik diri dan pergi.” sebut Peneliti di Trend Asia Andri Prasetiyo.
“Ini seharusnya juga menjadi pelajaran penting bagi industri batu bara, di tengah penguatan komitmen transisi energi ke depan, terdapat indikasi momentum momentum windfall yang indah sebagaimana sedang terjadi saat ini tidak otomatis akan terus bertahan menjadi laba di masa depan. Perusahaan harus semakin serius dan segera mempercepat rencana transisinya," imbuh Andri.
Sementara itu, analisa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan International Energy Agency memproyeksikan bahwa untuk mencapai net zero di tahun 2060, PLTU dengan teknologi lama di Indonesia dapat diberhentikan (phase-out) di 2050-an.
Terlebih lagi, Indonesia mengekspor 85 persen batu baranya ke negara yang memiliki target net zero, hal ini menimbulkan keraguan atas prospek permintaan batu-bara jangka panjang.
“Permintaan batu-bara yang menurun secara drastis mengindikasikan bahwa pembiayaan ke batu bara memiliki risiko kerugian finansial yang semakin meningkat. Risiko keuangan dari investasi batu-bara terlihat jelas dari keputusan lembaga keuangan global maupun regional phase out dari batu bara,” jelas Indonesia Campaigner di Market Forces Nabilla Gunawan.
Risiko transisi timbul karena perubahan kebijakan dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
“Bank domestik harus segera mengambil langkah untuk menghindari potensi kerugian yang besar yang ditimbulkan dari investasi bat bara. Mereka harus memiliki kebijakan untuk menghentikan pendanaan ke sektor batu-bara.” tambah Nabilla.
Sejak 2015, total pinjaman langsung yang diberikan keempat Bank Mandiri, BCA, BNI, dan BRI untuk perusahaan batu bara dalam negeri mencapai USD3,5 miliar.
“Keputusan DBS dan bank-bank besar lainnya untuk meninggalkan Adaro merupakan sinyal kuat agar seluruh pelaku bisnis batu bara transisi keluar dari batu-bara sekarang," ujar Nabilla.
“Seluruh bank di Indonesia dan Asia yang serius tentang komitmen krisis iklim harus berhenti mendanai batu-bara sekarang," tutup Nabilla.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News