"Jika terjadi gagal bayar, maka sepenuhnya menjadi beban nasabah atau pemegang polis. Bahkan persoalan gagal bayar ini masih belum mengalami titik terang hingga saat ini," kata pengamat industri asuransi Irvan Rahardjo dalam keterangan tertulis, Jumat, 21 Oktober 2022.
Irvan menjelaskan, anuitas produk keuangan yang membayarkan aliran pembayaran tetap kepada perorangan dan produk keuangan ini sejatinya digunakan sebagai aliran pendapatan pensiunan.
Hal tersebut, lanjutnya, untuk menjadi sarana yang dapat diandalkan untuk mengamankan arus kas yang stabil bagi individu (pensiunan perusahaan swasta atau BUMN) yang selama bertahun-tahun akan menjalani masa pensiun dan untuk mengurangi ketakutan resiko umur panjang dari asset seseorang.
Anuitas juga dirancang untuk menjadi sarana yang dapat diandalkan untuk mengamankan arus kas yang stabil bagi individu (pensiunan perusahaan swasta atau BUMN) yang selama bertahun-tahun akan menjalani masa pensiun dan untuk mengurangi ketakutan resiko umur panjang dari asset seseorang.
Baca juga: Berkolaborasi Mendukung Inklusi Keuangan Capai 90% |
Sesuai UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun menyebutkan, manfaat pensiun bagi peserta atau bagi janda/duda sebagai penerima manfaat harus dalam bentuk angsuran tetap atau meningkat guna mengimbangi kenaikan harga yang pembayarannya dilakukan sekali sebulan untuk seumur hidup.
"Namun pada kenyataannya, saat ini telah banyak lembaga asuransi yang gagal bayar karena karena anuitas bukan murni produk asuransi. Maka, tidak ada pemindahan risiko, penjual anuitas hanya mengelola pembayaran manfaat pensiun," tuturnya.
Adapun perusahaan yang mempunyai program memberikan dana pensiun setelah karyawan purna tugas, sumber dananya berasal dari pemotongan gaji karyawan setiap bulan dan kontribusi perusahaan setiap bulan.
Pada saat karyawan memasuki usia pensiun, akumulasi dana yang dikumpulkan ditambah hasil pengembangan dana, maka akumulasi dana tersebut pengelolaannya oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau kemudian dialihkan atas perintah direksi perusahaan selaku pendiri dana pensiun.
Menurut Irvan, mereka harus secepatnya melakukan inovasi untuk penyehatan kinerja keuangan. Agar bisa mendapat penjaminan polis, perusahaan asuransi harus dalam kondisi sehat baik secara manajemen ataupun dari sisi keuangan.
"Ya, tentu mereka (perusahaan asuransi yang gagal bayar) harus disehatkan dulu sebelum masuk ke Lembaga Penjamin Polis. Sebab ukuran sehat itu angka RBC (Risk Base Capital) harus minimal 120 persen. Jadi modal mereka harus berada minim 120 persen dari risiko yang ditanggung," sambungnya.
Ia mengatakan, salah satu bentuk perlindungan bagi pemegang polis adalah Lembaga Penjamin Polis sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di industri perbankan. Dengan adanya Lembaga Penjamin Polis, maka akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi.
Apalagi Lembaga Penjamin Polis merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 53, yang seharusnya lembaga ini sudah berdiri paling lambat 2017. Namun nyatanya, hingga kini lembaga ini belum terbentuk sehingga saat ini sedang dibahas Rancangan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
"Dengan adanya Lembaga Penjamin Polis, akan ada penguatan di sektor asuransi bersama sektor keuangan lainnya baik bank atau non bank. Dengan ada Lembaga Penjamin Polis diharapkan kepercayaan masyarakat meningkat dan bisa terus menumbuhkan asuransi lebih cepat terutama asuransi jiwa karena penetrasi kita selama ini masih rendah yaitu 1,7 persen dari PDB dan untuk asuransi umum baru sekitar 1,8 persen terhadap PDB," urai Irvan.
Dia berharap RUU P2SK dapat segera diundangkan oleh anggota dewan, maksimal akhir 2022 ini. "Dengan begitu, Lembaga Penjamin Polis juga dapat segera dibentuk dengan mengacu payung hukum yang sudah ada," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News