Mengutip data Bloomberg, Kamis, 26 Oktober 2023, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.919 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun 49 poin atau setara 0,31 persen dari posisi Rp15.870 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
"Pada penutupan pasar sore ini, mata uang rupiah ditutup melemah 49 poin walaupun sebelumnya sempat melemah 75 poin di level Rp15.919 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp15.870 per USD," kata analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis harian.
Dolar AS kian perkasa
Menurut Ibrahim, pelemahan rupiah dipicu kekhawatiran akan potensi eskalasi perang Israel-Hamas yang masih terus terjadi seiring dengan berlanjutnya serangan rudal ke Gaza. Sementara, Israel menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan serangan darat di wilayah tersebut.
"Selain itu, suku bunga AS yang lebih tinggi mendorong kenaikan dolar dan imbal hasil treasury," jelas dia.
Meskipun tanda-tanda kekuatan ekonomi AS diperkirakan akan meningkatkan selera risiko, hal ini juga diperkirakan akan memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Bank sentral akan mempertahankan suku bunganya pada pertemuan minggu depan. Namun para pejabat The Fed tetap membuka peluang untuk setidaknya satu kali kenaikan suku bunga lagi pada tahun ini, dan memberikan isyarat suku bunga akan tetap lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama di tengah tingginya inflasi dan kuatnya perekonomian.
Sebelum The Fed, Bank Sentral Eropa (ECB) akan mengadakan pertemuan pada Kamis dan diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya. Namun ECB juga diperkirakan akan memberikan sinyal suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, meskipun ada tanda-tanda resesi zona euro yang akan datang.
Di Asia, para pedagang berusaha mengukur seberapa besar ledakan ekonomi yang akan dihasilkan oleh rencana penerbitan obligasi Pemerintah Tiongkok sebesar 1 triliun yuan atau sekitar USD136 miliar.
"Mata uang ini masih berada di bawah tekanan akibat keraguan atas pemulihan ekonomi, serta krisis di pasar properti," papar Ibrahim.
Baca juga: Nah Lho! Harga Minyak Dunia Diramal Tembus USD150/Barel |
Kekhawatiran harga minyak
Pelaku pasar terus memantau perang yang terjadi antara Israel dan Hamas. Hal tersebut mulai dirasakan dampaknya terhadap harga minyak dunia yang terus merangkak naik.
"Risiko dan ketidakpastian global semakin meningkat. Hal ini dapat memberikan dampak rambatan atau spill over ke dalam negeri yang bisa mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," terang dia.
Pada 2022 lalu akibat adanya perang antara Rusia-Ukraina, harga minyak melonjak USD128 per barel, dari USD60-USD70 per barel. Saat ini harga minyak yang sebelumnya sudah turun kembali, melonjak lebih dari USD90 per barel.
Menurut Ibrahim, dengan adanya perang di Palestina, yang merupakan zona produksi minyak minyak dan gas terbesar dunia, gejolaknya sudah mulai terefleksi. Sesudah harga minyak turun, sempat USD80-an per barel lagi, sekarang melonjak dan menembus USD90.
"Ini level bukan hanya suplai demand, tapi psikologi karena perang," tegas dia.
Selain itu, soal harga gas yang pergerakannya masih minus 29,6 persen secara year to date (ytd). Kemudian, batu bara selama ini mengalami penurunan cukup besar yakni minus 63,6 persen, ini memengaruhi APBN cukup besar karena coal menyumbangkan pajak maupun PNBP, bahkan bea keluar kalau itu diterapkan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengkhawatirkan jika perang semakin meluas maka efeknya akan melebar ke harga minyak mentah yang terus melonjak. Bahkan, Jokowi mengatakan harga minyak mentah bisa mencapai USD150 per barel.
Melihat berbagai perkembangan tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan besok akan bergerak secara fluktuatif meskipun kemungkinan besar akan kembali mengalami pelemahan.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.910 per USD hingga Rp15.970 per USD," tutup Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News