Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pada paruh pertama 2023, rupiah terapresiasi hingga tercatat di bawah level Rp15.000 per USD.
Namun, ketika Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed memberikan sinyal "higher for longer" di awal semester kedua, tren rupiah berbalik pada triwulan III-2023.
Selanjutnya dalam dua bulan terakhir, rupiah menguat terhadap dolar AS karena pelonggaran indikator perekonomian AS dan sinyal dovish dari The Fed.
Adapun, The Fed mengisyaratkan penurunan suku bunga secara signifikan pada 2024. Alhasil, indeks dolar AS terdepresiasi sebesar 2,11 persen (yoy) pada akhir 2023.
"Rupiah berhasil terapresiasi sebesar 1,11 persen (yoy) di 2023," kata Josua dilansir Antara, Rabu, 3 Januari 2024.
Baca juga: Duh! Rupiah di Awal 2024 Langsung Nyungsep |
Sementara itu, sebelumnya Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah berlanjut sejalan dengan konsistensi kebijakan moneter Bank Indonesia dan mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global.
Kebijakan stabilisasi BI
Di samping kebijakan stabilisasi BI, berlanjutnya apresiasi nilai tukar rupiah didorong oleh masuknya aliran portofolio asing, menariknya imbal hasil aset keuangan domestik, serta tetap positifnya prospek ekonomi.Ke depan, Bank Indonesia dikatakan akan tetap mewaspadai sejumlah risiko yang mungkin muncul dan memastikan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sebesar 6,16 persen (yoy) di 2023, terutama didorong oleh sentimen risk-on dari pasar global dalam dua bulan terakhir.
Sejak awal 2023 sampai dengan 28 Desember 2023, total modal asing masuk bersih di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp80,45 triliun dan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp52,81 triliun. Sementara, modal asing keluar bersih di pasar saham tercatat sebesar Rp10,74 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News