Rilis perseroan mengenai paparan kinerja indikatif menyebut selain posisi kas sebesar Rp29 triliun, perseroan juga memiliki fasilitas kredit sebesar Rp4,65 triliun. Sebesar Rp1,5 triliun dari total fasilitas kredit tersebut telah digunakan.
Research Analyst MNC Sekuritas Andrew Sebastian Susilo mengungkapkan, perkembangan kondisi perekonomian global saat ini berdampak pada meningkatnya perhatian terhadap kondisi operasional perusahaan. Terutama terhadap perusahaan teknologi seperti GOTO.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Akhir-akhir ini, peran likuiditas menjadi semakin penting. Era suku bunga tinggi yang dimulai tahun lalu telah meningkatkan risiko likuiditas bagi korporasi, terutama bagi perusahaan yang sangat bergantung pada pendanaan dari investor," ungkapnya melalui riset yang dipublikasikan pada akhir pekan kemarin, dikutip Senin, 21 Maret 2023.
Sejauh mana perseroan mampu mendanai operasionalnya hingga mampu meraih keuntungan saat likuiditas di pasar mengering, kata Andrew, menjadi salah satu kunci fundamental dan daya tarik bagi investor.
Mulai kurangi 'bakar uang'
GOTO diklaim Andrew dalam situasi positif. Selain karena posisi kas yang solid, hal tersebut karena keberhasilan menekan biaya promosi dan marketing serta biaya operasional sementara pada saat yang sama tetap mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan.
Selama periode sampai dengan kuartal ketiga 2022 saja, GOTO telah mengimplementasikan penghematan baik yang terkait maupun tidak terkait dengan biaya personel sebesar lebih dari Rp1,1 triliun atau setara dengan penghematan 14 persen.
"Cash burn (bakar uang) bulanannya juga turun dari Rp1,6 triliun di kuartal pertama 2022 menjadi Rp1,3 triliun di kuartal ketiga 2022," sambung dia.
Hasilnya, EBITDA Disesuaikan GOTO semakin membaik. Meningkat dari minus 4,6 persen terhadap GTV pada kuartal keempat 2021 menjadi minus 2,3 persen dari GTV pada kuartal ketiga 2022.
Adapun potensi kenaikan opex pada kuartal keempat 2022 terjadi karena biaya sekali bayar sebagai imbas dari kompensasi bagi mereka yang terdampak kebijakan pengurangan karyawan.
"Perlu dicatat, beberapa opex GOTO tidak berbasis tunai karena perusahaan menawarkan kompensasi berbasis saham kompensasi (Share Based Compensation/SBC) untuk karyawan," imbuhnya.
Yang lebih penting, lanjut Andrew, adalah konsistensi kenaikan transaksi GOTO. Sebab setiap kenaikan sebesar 25 basis poin (bps) dalam tingkat pengambilan (take-rate) keseluruhan maka akan meningkatkan EBITDA Disesuaikan GOTO sebesar Rp1,8 triliun. Dengan asumsi biaya total (biaya pendapatan + opex) sebesar 194 persen dari pendapatan bersih seperti saat ini terjadi.
Bca juga: Dahsyat! Transaksi 2,7 Miliar Pesanan, GOTO Raup Rp613 Triliun di 2022 |
Potensi tambahan likuiditas
Dibandingkan dengan kompetitornya di industri yaitu SEA Group dan Grab, kata Andrew, GOTO memiliki kelebihan potensi tambahan likuiditas. Sebab menjadi satu-satunya yang belum memanfaatkan potensi pendanaan melalui aksi korporasi berupa penerbitan efek di pasar modal.
"SEA adalah salah satu yang paling aktif dalam melakukan putaran pendanaan pasca-IPO. Sejak 2017 sampai 2021, SEA mendapatkan tambahan likuiditas hingga USD16 miliar dan inilah yang membuat Sea Group memiliki kantong paling tebal," jelas Andrew.
Sedangkan Grab sempat menerbitkan non-convertible bonds senilai USD2 miliar pada 2021. Sebesar USD850 juta di antaranya telah dilunasi.
Direktur Keuangan Grup GOTO Jacky Lo menyampaikan, untuk kinerja indikatif kuartal keempat 2022 perseroan berada pada jalur yang tepat untuk mencapai EBITDA Disesuaikan yang positif pada kuartal akhir 2023.
Perseroan menegaskan, GOTO memiliki arus kas operasional yang positif didorong oleh perkiraan pengurangan cash burn tahunan sebesar antara 60 persen sampai 65 persen di 2023.
"EBITDA disesuaikan secara grup pada kuartal keempat 2022 adalah sebesar (minus) Rp3,1 triliun atau minus 1,9 persen dari GTV. Membaik sebesar 52 persen dibandingkan tahun sebelumnya (yoy)," tutup Jacky Lo.
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*