Ilustrasi. Foto: AFP/Bay Ismoyo.
Ilustrasi. Foto: AFP/Bay Ismoyo.

Menguat Tipis Hari Ini, Bagaimana Ramalan Rupiah Besok?

Husen Miftahudin • 31 Oktober 2023 16:18
Jakarta: Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini kembali mengalami penguatan, setelah dalam beberapa pekan mata uang Garuda tersebut dibombardir dolar Amerika Serikat (AS).
 
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 31 Oktober 2023, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.884 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik tipis lima poin atau setara 0,03 persen dari posisi Rp15.890 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
 
"Pada penutupan pasar sore ini, mata uang rupiah ditutup menguat lima poin walaupun sebelumnya sempat melemah 20 poin di level Rp15.884 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp15.890 per USD," kata analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis harian.
 

Stabilitas sektor keuangan RI direspons positif


Ibrahim mengungkapkan, penguatan rupiah pada perdagangan hari ini utamanya disebabkan oleh respons positif para pelaku pasar keuangan setelah mencermati sektor keuangan Indonesia yang tetap stabil dan mampu menghadapi di tengah gejolak global, seperti meningkatnya suku bunga tinggi di AS yang berkepanjangan dan tensi geopolitik yang memanas.

"Tetap stabilnya sektor jasa keuangan didorong dari mampunya Indonesia dalam memitigasi dari ketidakpastian global," papar dia.
 
Terjaganya permodalan yang kuat, kondisi likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga meningkatkan optimisme sektor jasa keuangan mampu memitigasi risiko dari meningkatnya ketidakpastian global baik dari terminologi higher for longer suku bunga global maupun tensi geopolitik.
 
Dari tensi geopolitik, jelas dia, memanasnya konflik Israel dan Hamas yang berpotensi mempengaruhi ekonomi dunia secara signifikan terutama jika terjadi eskalasi di Timur Tengah yang lebih luas.
 
Kemudian membaiknya pasar tenaga kerja dan inflasi yang tetap persisten tinggi di Amerika Serikat (AS), telah mendorong meningkatnya aksi jual (share off) pasar obligasi di salah satu negara ekonomi terkuat dunia tersebut.
 
Kenaikan hasil obligasi AS (yield US Treasury) telah meningkatkan keluarnya modal dari pasar negara berkembang (emerging market) termasuk Indonesia dalam mendorong pelemahan pada nilai tukar dan pasar obligasi yang signifikan.
 
"Di Eropa kinerja ekonomi diprediksi masih mengalami stagflasi. Sedangkan di Tiongkok pemulihan ekonomi masih belum sesuai harapan dan kinerja ekonomi yang masih di level pandemi. Tentunya ini akan meningkatkan kekhawatiran bagi pemulihan perekonomian global," terang Ibrahim.
 
Sementara, ungkap dia, tingkat inflasi Indonesia juga tercatat sebesar 2,28 persen secara tahunan (yoy) atau sejalan dengan ekspektasi pasar 2,2 persen (yoy).
 
"Namun secara umum, daya beli masyarakat masih tertekan yang terlihat dari inflasi inti yang kembali turun, serta penurunan indeks kepercayaan konsumen dan kinerja penjualan ritel yang rendah," jelas Ibrahim.
 
Baca juga: Tenang! Sektor Keuangan Indonesia Mampu Hadapi Ketidakpastian Global
 

Sentimen eksternal


Di sisi lain, data ekonomi Tiongkok menunjukkan penurunan tak terduga dalam aktivitas bisnis, sementara yen Jepang jatuh setelah Bank of Japan mempertahankan kebijakan ultra-dovishnya. Sebagian besar investor juga tetap gelisah menjelang kesimpulan pertemuan Federal Reserve pada Rabu.
 
Meskipun bank sentral diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya, bank sentral juga kemungkinan akan mengulangi sikapnya yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, sebuah skenario yang menjadi pertanda baik bagi dolar dan buruk bagi mata uang Asia yang didorong oleh risiko.
 
Adapun, Bank BOJ mempertahankan suku bunga negatif, dan hanya membuat sedikit perubahan pada kebijakan pengendalian kurva imbal hasil (YCC). Bank sentral mengatakan akan memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam YCC-nya, yang berpotensi membiarkan imbal hasil obligasi bergerak di atas batas satu persen.
 
"Namun hal ini sebagian besar mengecewakan pasar yang mengharapkan langkah BOJ yang lebih agresif," ucap Ibrahim.
 
Imbal hasil acuan 10-tahun memangkas beberapa kenaikan setelah langkah tersebut, dan semakin turun dari batas atas satu persen. Data ekonomi yang lemah juga membebani yen, setelah pembacaan produksi industri dan penjualan ritel mengecewakan pada bulan September.
 
BOJ juga memperkirakan inflasi yang lebih tinggi dan memburuknya kondisi ekonomi di tahun-tahun mendatang, dan akan melanjutkan laju pelonggaran kuantitatif dalam jangka pendek.
 
Selain itu, data indeks manajer pembelian menunjukkan bahwa sektor manufaktur Tiongkok mengalami kontraksi pada Oktober, sementara pertumbuhan di sektor non-manufaktur melambat secara substansial.
 
"Data tersebut menunjukkan langkah-langkah stimulus pemerintah baru-baru ini hanya memberikan sedikit bantuan terhadap perekonomian, dan diperlukan lebih banyak dukungan. Aktivitas juga terpukul oleh memburuknya kondisi ekonomi di mitra dagang terbesar Tiongkok," urai Ibrahim.
 
Melihat berbagai perkembangan tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan besok akan bergerak secara fluktuatif meskipun kemungkinan besar akan kembali mengalami pelemahan.
 
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.870 per USD hingga Rp15.950 per USD," tutup Ibrahim.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan