Mengutip data Bloomberg, Jumat, 21 Juni 2024, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp16.450 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun 20 poin atau setara 0,12 persen dari posisi Rp16.430 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memperkirakan nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin pekan depan akan mengalami pelemahan.
"Untuk perdagangan Senin besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.440 per USD hingga Rp16.510 per USD," ujar Ibrahim, dikutip dari analisis hariannya, Jumat, 21 Juni 2024.
Ia pun membeberkan penyebab ambruknya nilai tukar rupiah saat melawan dolar Amerika Serikat (AS) hari ini, diantaranya sentimen yang berasal dari eksternal maupun internal.
Pasar tenaga kerja AS melemah
Menurut Ibrahim, penjualan ritel Mei yang dirilis minggu ini tidak terlalu signifikan dan pasar tenaga kerja tampaknya melemah. Jumlah orang AS yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran turun pada minggu lalu, namun masih lebih besar dari perkiraan.
"Berdasarkan data yang dirilis pada Kamis, menunjukkan pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun terjadi penurunan secara bertahap. Data AS yang lemah baru-baru ini memperkuat spekulasi penurunan suku bunga Federal Reserve sebanyak dua kali pada akhir tahun ini," ucap Ibrahim.
Sementara itu, para pejabat The Fed membiarkan kebijakannya tidak berubah pada pertemuan mereka di Juni, dan memangkas proyeksi sebelumnya untuk pemotongan tiga perempat poin tahun ini menjadi satu, bahkan ketika inflasi telah mereda dan pasar tenaga kerja telah melemah.
Kemudian, pedagang tetap mewaspadai tanda-tanda intervensi berkelanjutan oleh Bank of Japan untuk meningkatkan mata uang yang mencapai posisi terendah dalam 34 tahun pada akhir April.
Di sisi lain, Bank Sentral Inggris (BoE) mempertahankan suku bunganya, dan beberapa pembuat kebijakan mengatakan keputusan mereka untuk tidak melakukan pemotongan adalah 'seimbang'.
"Sementara, Swiss National Bank memangkas suku bunga untuk kedua kalinya sementara Bank of England membuka kemungkinan pelonggaran pada Agustus setelah mempertahankan suku bunga tetap stabil," ungkap dia.
| Baca juga: Rupiah Melemah, Ini yang Harus Kita Lakukan! |
Ketidakpastian arah kebijakan fiskal
Ibrahim mengungkapkan, pasar terus memantau ketidakpastian arah kebijakan fiskal yang meningkatkan risiko fiskal dan menjadi faktor utama yang memengaruhi pelemahan mata uang rupiah.
"Hal itu dilihat dari kondisi proyeksi defisit anggaran yang besar di kisaran 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut mendekati batas atas level tiga persen dari PDB," tutur Ibrahim.
Terlebih belakangan ini bermunculan kabar mengenai sikap presiden terpilih Prabowo Subianto yang terlihat permisif dengan utang. Bahkan Prabowo diisukan hendak menaikkan rasio utang pemerintah ke kisaran 50 persen dari PDB, meski kemudian kabar itu sudah dibantah tim Prabowo-Gibran.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah mendatang di bawah Prabowo-Gibran harus secepatnya menyampaikan komitmennya terhadap disiplin fiskal agar naiknya risiko fiskal dapat ditekan dan tidak menciptakan sentimen negatif terhadap rupiah.
Pemerintah dan Bank Indonesia selayaknya menjaga stabilitas rupiah berbasis kekuatan fundamental perekonomian Indonesia. Hal itu yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik.
"Sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah, merupakan anomali karena hingga Mei 2024 Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik," tutup Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News