"Volume transaksi cenderung tipis pada Rabu menjelang rilis indeks harga konsumen AS di sesi ini, karena hal ini dapat menentukan arah pertemuan Federal Reserve minggu depan," ungkap Ibrahim dalam analisis hariannya, dikutip Kamis, 14 September 2023.
Adapun Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) inti AS, yang tidak memperhitungkan harga pangan dan energi yang fluktuatif, diperkirakan akan turun menjadi 4,3 persen (yoy) di Agustus dari 4,7 persen. Namun melonjaknya harga minyak menyebabkan angka utama tahunan naik menjadi 3,6 persen dari 3,2 persen .
Para pejabat The Fed telah memberi isyarat mereka dapat berhenti sejenak ketika pertemuan mereka minggu depan, setelah menaikkan suku bunga pada 11 dari 12 pertemuan terakhir mereka, sambil menilai kemajuan mereka sejauh ini.
"Namun inflasi yang masih bertahan dapat menunjukkan kemungkinan kenaikan lebih lanjut sebelum tahun ini berakhir," sebut dia.
Di sisi lain, Bank Sentral Eropa (ECB) akan bertemu pada Kamis, dan para pedagang telah mulai menilai kembali posisi mereka setelah laporan Reuters mengindikasikan pembuat kebijakan ECB memperkirakan inflasi di 20 negara zona euro akan tetap di atas tiga persen tahun depan, memperkuat kemungkinan kenaikan suku bunga kesepuluh berturut-turut.
Bank of England diperkirakan masih akan menambah 14 kenaikan suku bunga sejak akhir 2021 ketika para pengambil kebijakan bertemu minggu depan, menaikkan suku bunga menjadi 5,5 persen dari 5,25 persen.
"Perekonomian belum memasuki resesi seperti yang dikhawatirkan, pertumbuhan upah menunjukkan sedikit tanda-tanda perlambatan, dan para ahli statistik resmi telah meningkatkan data secara tajam untuk menunjukkan Inggris pulih lebih awal dari covid-19 dibandingkan perkiraan sebelumnya," tutur Ibrahim.
Baca juga: Rupiah Dibuka 'Panas Dingin' di Tengah Penantian Data Inflasi AS |
BI bakal pangkas suku bunga mulai 2024
Sementara itu, para ekonom memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di 2024 mendatang, tepatnya kuartal kedua. Salah satu penyebabnya adalah stabilnya perekonomian AS dan inflasi yang terkendali dan mendekati dua persen.
Selain itu, pergeseran proyeksi ini karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kembali melemah. Pasalnya, ini akan berdampak pada imported inflation (inflasi impor). Sehingga, suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,75 persen harus dipertahankan.
"Meskipun, inflasi sudah berada di kisaran target sasaran BI sebesar tiga persen plus minus satu persen, yaitu di level 3,27 persen secara tahunan (yoy) pada Agustus 2023," papar dia.
Di sisi lain, BI juga menunggu sinyal dari The Fed untuk berhenti menaikkan dan mulai menurunkan suku bunga acuannya. Kondisi itu dipengaruhi oleh tingkat inflasi di AS, apakah terkendali atau malah terjadi resesi.
Menurut Ibrahim, semakin memburuknya ekonomi di AS akan mempercepat sinyal turunnya suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR). Berdasarkan histori, bila The Fed menaikkan suku bunga secara agresif, maka ada kemungkinan terjadi resesi.
"Dampak kebijakan suku bunga yang ketat itu bisa satu sampai dua tahun ke depan. Sehingga para ekonom bisa memperkirakan apabila ekonomi AS mengalami resesi, hal tersebut akan berdampak pada tren hyper inflasi menurun," jelas dia.
Melihat berbagai perkembangan tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan hari ini akan bergerak secara fluktuatif. Meskipun begitu, mata uang Garuda tersebut akan ditutup melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.350 per USD hingga Rp15.450 per USD," tutup Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News