Menurut Said Iqbal, setidaknya ada enam alasan mengapa Tapera harus dicabut. Pertama, terkait ketidakpastian memiliki rumah.
"Dengan potongan iuran sebesar tiga persen dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Minggu, 2 Mei 2024.
Kedua, dia menilai pemerintah lepas tanggung jawab. Dalam regulasi itu, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
"Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan," tutur dia.
Ketiga ia menilai kewajiban iuran Tapera itu membebani biaya hidup buruh. Dia menjelaskaan, di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 (dua koma lima persen) yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
"Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12 persen dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen (dua koma lima persen). Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," rinci dia.
Baca juga: Ada Iuran Tapera, Apa Kabar Buat yang Sudah Punya Rumah? |
Rawan dikorupsi
Keempat, ia melanjutkan iuran Tapera rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance). Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah.
Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.
"Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," ucap dia.
Kelima, tabungan Tapera dinilai memaksa karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela.
Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan Dana Tapera. Dia menambahkan, bagi PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.
“Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada Kamis, 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News