Namun ahli strategi dari JP Morgan Asset Management mengatakan anggota NATO itu telah menemukan diri berada di tengah badai yang sempurna lantaran kondisi keuangan yang memburuk, sentimen investor yang goyah, manajemen ekonomi yang tidak memadai, dan adanya ancaman tarif dari Amerika Serikat (AS).
"Aset Turki berada di bawah tekanan berat. Sementara Turki membentuk persentase kecil dari ekonomi global dan pasar keuangan, tetapi investor khawatir tentang masalah di Turki yang menyebabkan kerusakan di pasar lain di seluruh dunia, terutama Eropa," tulis JP Morgan dalam catatannya, seperti dilansir CNBC, Selasa, 14 Agustus 2018.
Baca: Krisis Turki tidak Perlu Ditakuti
Dalam jangka pendek, keputusan Washington telah memicu jatuhnya mata uang Turki di mana lira merosot sebanyak 20 persen terhadap USD pada Jumat waktu setempat (Sabtu WIB), setelah Presiden AS Donald Trump menyetujui melipatgandakan tarif logam. Tetapi celah-celah pondasi ekonomi Turki sudah menyebar sebelum Amerika melancarkan "serangannya".
Turki dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia, bahkan mengungguli raksasa ekonomi Tiongkok dan India tahun lalu. Pada kuartal kedua di 2018, negara ini melaporkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 7,22 persen.
Akan tetapi, analis menilai, ekspansi itu didorong oleh mata uang asing. Analis mengatakan pada saat bank-bank sentral di seluruh dunia memompa uang untuk menstimulasi ekonomi mereka setelah krisis keuangan global, namun bank dan perusahaan Turki meraup utang dalam USD.
Baca: Meski Rentan Guncangan, Ekonomi Indonesia Stabil
"(Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan) ada di sini untuk tinggal, dan pasar tidak memiliki kepercayaan pada dia. Itu campuran yang berbahaya," sebut Analis CreditSights Richard Briggs.
.jpg)
Ilustrasi (OZAN KOSE/AFP)
Pinjaman itu mendorong konsumsi dan pengeluaran sehingga mengakibatkan Turki mengalami defisit, baik dalam neraca fiskal maupun pada sisi giro. Yang pertama kali terjadi adalah ketika pengeluaran pemerintah melebihi pendapatan, sementara yang terakhir adalah negara terlalu banyak membeli barang dan jasa daripada yang dijualnya.
Baca: Erdogan Tuduh AS Coba Tusuk Turki dari Belakang
Richard Briggs menambahkan Turki bukan satu-satunya ekonomi dengan defisit kembar dengan tingginya jumlah utang dalam bentuk mata uang asing. Indonesia, misalnya, juga menjalankan defisit neraca fiskal dan berjalan lancar, bahkan pinjaman mata uang asingnya sekitar 30 persen dari PDB.
"Tetapi tidak seperti Indonesia, Turki tidak memiliki cadangan cukup besar untuk menyelamatkan ekonomi ketika ada yang salah," pungkas Richard Briggs.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News