Jakarta: Belum usai dampak pandemi ditangani, dunia kini dihadapkan pada kemungkinan resesi ekonomi imbas perang Rusia dan Ukraina. Sebab, konflik dua negara Eropa Timur itu merupakan pemasok energi dan pangan terbesar bagi dunia, utamanya di Benua Biru.
Kondisi itu mengguncang stabilitas perekonomian global. Indonesia harus tetap waspada meski saat ini berdasarkan berbagai data indikator ekonomi masih tergolong cukup baik. "Dunia tidak baik-baik saja, inflasi di berbagai negara melonjak sangat tinggi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Dies Natalis PKN STAN, Jumat, 29 Juli 2022.
Dia mengatakan, rapuhnya perekonomian negara-negara maju akibat tingginya inflasi berpotensi memberi dampak pada Indonesia. Sebab, negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan sejumlah negara Eropa merupakan mitra strategis ekspor nasional.
Melemahnya perekonomian negara mitra dagang tentu akan berdampak pada menurunnya permintaan ekspor dari Indonesia. Hal ini menurut Sri Mulyani akan menjadi salah satu dampak yang akan dirasakan dan tak bisa dihindari.
Pasalnya, bila permintaan ekspor dari negara-negara itu turun, maka harga-harga komoditas bakal melandai. Itu berarti ada potensi pelemahan kinerja dagang yang dalam 26 bulan terakhir selalu mencatatkan surplus.
"Kalau (ekonomi) mereka melemah, permintaan terhadap ekspor turun, harga komoditas juga turun," jelas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Ancaman itu disebut nyata. Pagi ini misalnya, Amerika Serikat melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 di level minus 0,9 persen (yoy). Negeri Paman Sam otomatis mengalami resesi setelah di kuartal I-2022 mencatatkan pertumbuhan minus 1,6 persen (yoy).
Sebelum AS melaporkan kinerja ekonominya, pekan lalu Tiongkok lebih dulu melaporkan perlambatan pertumbuhan di kuartal II, yakni 0,4 persen (yoy). Ekonomi Negeri Tirai Bambu terjun bebas lantaran pada kuartal I masih mencatatkan pertumbuhan 4,8 persen (yoy).
Karena itu, kata Sri Mulyani, Indonesia ogah jumawa dan berbangga diri meski perekonomian dalam posisi yang saat ini tergolong aman. "APBN hingga Juni kita surplus, (tapi) kita tidak jemawa. Kita tahu situasi masih akan sangat cair dan dinamis," kata dia.
"Berbagai kemungkinan terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia. Itu bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga, dan bahkan inflasi di Indonesia," lanjut perempuan yang karib disapa Ani itu.
Kemarin dulu, saat melaporkan kinerja APBN semester I-2022, Ani mengatakan, Indonesia mesti memikirkan cara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan situasi krisis global, utamanya yang terjadi pada negara mitra dagang, mengandalkan kinerja ekspor sebagai mesin pertumbuhan menjadi riskan.
"Domestic source of growth menjadi penting di dalam menjaga kinerja ekonomi kita. Pada saat ekspor kita bagus, kita mendapatkan eksternal balance, tapi karena dunia tidak pasti, maka kita tidak boleh hanya mengandalkan eksternal source, karenanya kita manfaatkan domestik," jelas dia.
Namun dia masih optimistis, sokongan kinerja dagang akan mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Setidaknya, dengan capaian apik selama semester I, ekonomi nasional diyakini mampu tumbuh di kisaran lima persen.
"Adanya pengaruh windfall revenue komoditas dan juga pemulihan yang sangat kuat ini sangat positif. Sampai semester I pertumbuhan ekonomi di atas lima persen mungkin masih bisa kita jaga, kita harapkan ini bertahan," jelas dia.
Kondisi itu mengguncang stabilitas perekonomian global. Indonesia harus tetap waspada meski saat ini berdasarkan berbagai data indikator ekonomi masih tergolong cukup baik. "Dunia tidak baik-baik saja, inflasi di berbagai negara melonjak sangat tinggi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Dies Natalis PKN STAN, Jumat, 29 Juli 2022.
Dia mengatakan, rapuhnya perekonomian negara-negara maju akibat tingginya inflasi berpotensi memberi dampak pada Indonesia. Sebab, negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan sejumlah negara Eropa merupakan mitra strategis ekspor nasional.
Melemahnya perekonomian negara mitra dagang tentu akan berdampak pada menurunnya permintaan ekspor dari Indonesia. Hal ini menurut Sri Mulyani akan menjadi salah satu dampak yang akan dirasakan dan tak bisa dihindari.
Pasalnya, bila permintaan ekspor dari negara-negara itu turun, maka harga-harga komoditas bakal melandai. Itu berarti ada potensi pelemahan kinerja dagang yang dalam 26 bulan terakhir selalu mencatatkan surplus.
"Kalau (ekonomi) mereka melemah, permintaan terhadap ekspor turun, harga komoditas juga turun," jelas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Ancaman itu disebut nyata. Pagi ini misalnya, Amerika Serikat melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 di level minus 0,9 persen (yoy). Negeri Paman Sam otomatis mengalami resesi setelah di kuartal I-2022 mencatatkan pertumbuhan minus 1,6 persen (yoy).
Sebelum AS melaporkan kinerja ekonominya, pekan lalu Tiongkok lebih dulu melaporkan perlambatan pertumbuhan di kuartal II, yakni 0,4 persen (yoy). Ekonomi Negeri Tirai Bambu terjun bebas lantaran pada kuartal I masih mencatatkan pertumbuhan 4,8 persen (yoy).
Baca juga: Meskipun Alami Resesi, Data Ekonomi AS Masih Kuat |
Karena itu, kata Sri Mulyani, Indonesia ogah jumawa dan berbangga diri meski perekonomian dalam posisi yang saat ini tergolong aman. "APBN hingga Juni kita surplus, (tapi) kita tidak jemawa. Kita tahu situasi masih akan sangat cair dan dinamis," kata dia.
"Berbagai kemungkinan terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia. Itu bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga, dan bahkan inflasi di Indonesia," lanjut perempuan yang karib disapa Ani itu.
Kemarin dulu, saat melaporkan kinerja APBN semester I-2022, Ani mengatakan, Indonesia mesti memikirkan cara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan situasi krisis global, utamanya yang terjadi pada negara mitra dagang, mengandalkan kinerja ekspor sebagai mesin pertumbuhan menjadi riskan.
"Domestic source of growth menjadi penting di dalam menjaga kinerja ekonomi kita. Pada saat ekspor kita bagus, kita mendapatkan eksternal balance, tapi karena dunia tidak pasti, maka kita tidak boleh hanya mengandalkan eksternal source, karenanya kita manfaatkan domestik," jelas dia.
Namun dia masih optimistis, sokongan kinerja dagang akan mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Setidaknya, dengan capaian apik selama semester I, ekonomi nasional diyakini mampu tumbuh di kisaran lima persen.
"Adanya pengaruh windfall revenue komoditas dan juga pemulihan yang sangat kuat ini sangat positif. Sampai semester I pertumbuhan ekonomi di atas lima persen mungkin masih bisa kita jaga, kita harapkan ini bertahan," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News