Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. FOTO: Kemenkeu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. FOTO: Kemenkeu.

Kondisi Global Melemah, Menkeu Monitor PMI Manufaktur Negara Besar

Fetry Wuryasti • 24 Juli 2023 14:19
Jakarta: Kondisi global menunjukkan kecenderungan perlemahan yang makin terlihat. Dari sisi indikator PMI Manufaktur pada negara-negara yang dimonitor, sebesar 61,9 persen dari mereka mengalami kontraksi PMI, artinya di bawah level 50.
 
Negara-negara tersebut memiliki peran yang sangat besar terhadap perekonomian dunia yaitu Amerika, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, yang merupakan negara-negara yang selama ini mempengaruhi perekonomian dan perdagangan dunia.
 
"Sehingga perlemahan dari PMI Manufaktur negara-negara ini perlu untuk kita waspadai, apakah kecenderungannya akan terus melemah dan pada akhirnya memengaruhi kondisi dan kinerja perekonomian global," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers APBN Kita Edisi Juli 2023, Senin, 24 Juli 2023.

Sedangkan 20 persen dari negara yang diobservasi, mengalami ekspansi dan akselerasi. Artinya indeks PMI Manufakturnya berada di atas level 50 dan menanjak, termasuk, Indonesia, Turki, dan Meksiko.
 
Indonesia bertahan pada posisi ekspansi dan ekspansi akselerasi, sementara sebagian besar negara-negara pelaku ekonomi dunia mengalami kontraksi. "Ini yang harus kita waspadai," tukas Bendahara Negara tersebut.
 

Kinerja ekspor-impor


Dari sisi ekspor Indonesia, terlihat perlambatan ekspor dan impor, yang tentu akan sangat memengaruhi kinerja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
 
Adapun kinerja ekspor sampai dengan Juni 2023 mencapai USD20,61 miliar, turun 21,2 persen dibandingkan tahun lalu. Sri Mulyani mengakui, nilai ekspor sangat tinggi hampir selama dua tahun berturut-turut yaitu pada 2021 dan 2022, karena harga komoditas yang melambung dan kemampuan Indonesia menjaga ekspornya.
 
Namun dengan ekonomi dunia melemah, membuat permintaan terhadap barang ekspor mengalami penurunan serta harga komoditas mengalami koreksi. Sehingga tren dari ekspor mulai mengalami penurunan dari sisi pertumbuhan dari double digit menjadi kontraksi. Di sisi lain, kinerja impor juga mengalami penurunan cukup tajam yaitu 18,3 persen.
 
Pada neraca perdagangan Indonesia sampai dengan Juni 2023 tetap surplus dimana tingkat ekspor lebih tinggi dari tingkat impor, meski ekspor dan impor berada pada level kontraksi.
 
Sehingga neraca perdagangan ekspor dikurangi impor untuk barang mencapai surplus USD3,45 miliar untuk Juni 2023. Secara akumulasi Januari hingga Juni 2023, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus USD19,93 miliar.
 
"Ini adalah prestasi, selama 38 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia tetap terjaga surplus. Ini memengaruhi penguatan dari sektor neraca pembayaran atau external balance," kata Menkeu.
 

Keyakinan konsumen terjaga


Dari sisi domestik, faktor permintaan dalam negeri masih terlihat optimistis. Indeks keyakinan konsumen masih terjaga tinggi di level 127,13.
 
Masyarakat yang berbelanja menggunakan kartu kredit, yang diukur oleh Mandiri Spending Index, terjaga di level 156, sangat tinggi dibandingkan baseline 100.
 
Indeks penjualan riil tercatat tumbuh 8,0 persen pada Juni 2023, memberikan suatu keyakinan bahwa konsumsi yang tergambar dari beberapa indikator tersebut, masih akan terekam kuat hingga bulan Juni 2023. "PMI Manufaktur Indonesia ekspansif akseleratif yaitu di level 52,5," kata Menkeu.
 
Konsumsi listrik untuk listrik bisnis masih tumbuh tinggi 13 persen. Artinya, sesuai dengan optimisme masyarakat dan penjualan riil yang melonjak tinggi.
 
Sedangkan konsumsi listrik industri mengalami kontraksi 5,3 persen. Korelasinya ternyata ada pada kegiatan impor yang turun, terutama untuk bahan baku dan bahan modal, yang mempengaruhi sektor industri.
 
Selanjutnya, konsumsi semen juga mengalami koreksi sesudah Mei melonjak tinggi. Ini disebabkan karena ada koreksi jumlah hari kerja karena terjadinya jumlah hari libur pada bulan-bulan sebelumnya, yang kemudian terkoreksi pada Mei dan Juni terkoreksi kembali yaitu mengalami kontraksi 0,3 persen.
 
"Ini yang masih kita lihat. Optimisme yang memberikan keyakinan hingga kuartal II-2023. Berbagai indikator Indonesia masih cukup positif. Namun tanda-tanda terjadinya rembesan dari pelemahan global sudah mulai terlihat dari beberapa indikator ekonomi," kata Menkeu.
 
Baca juga: Ini PR Besar Pemerintah agar Industri Manufaktur Terus Ekspansif

Rupiah masih perkasa


Hingga Juni 2023, nilai tukar rupiah masih termasuk yang mengalami apresiasi dibandingkan dolar AS. Ini karena neraca perdagangan dan neraca pembayaran secara umum cukup baik. Banyak negara yang nilai tukar mata uangnya sudah terkoreksi cukup dalam, namun Indonesia masih dalam posisi cukup menarik.
 
Ini dikonfirmasikan dengan arus dana asing yang masuk ke Indonesia, yang mencapai Rp105,41 triliun, didominasi oleh pembelian surat berharga negara (SBN) Indonesia.
 
"Ini artinya Indonesia stabil dan menarik dari sisi SBN. Sehingga Rp86,18 triliun arus asing masuk sampai dengan bulan Juni 2023 (ytd) dan Rp17,53 triliun (hanya Juni 2023)," jelas Sri Mulyani.
 
Sedangkan ke pasar modal terjadi arus asing masuk sebesar Rp19,22 triliun (ytd), dan outflow Rp4,48 triliun pada Juni 2023.
 
Imbal hasil/yield SBN Indonesia dari sisi nilai mata uang lokal, terus membaik artinya menurun. Sehingga cost of fund bisa ditekan di tengah-tengah bank sentral AS terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate.
 
"Pada Juli ini, harus diperhatikan kebijakan moneter The Fed yang akan merespon penurunan inflasi headline yang telah turun di level di 3,0 persen di Amerika Serikat. Namun inflasi inti di Amerika Serikat masih dianggap cukup tinggi di 4,7 persen. Ini akan mempengaruhi arah dari kebijakan The Fed yang akan pada akhir Juli," kata Sri Mulyani.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan