Di Dailybox, ia mengawali karier sebagai head of special projects yang mengurusi teknologi yang diterapkan di perusahaan. Lalu ia mengepalai divisi head of business development & projects, bertugas mengurusi pengembangan gerai di berbagai wilayah di Indonesia. Di posisinya itu, ia mampu mengembangkan secara masif pertumbuhan gerai yang semula di bawah 100 hingga melewati angka itu hanya dalam kurun satu tahun.
Selang 3,5 tahun di posisi tersebut, kini Raymond pun dipercaya sebagai CEO. Tentu secara tantangan menjadi lebih besar. Namun, karena ia "orang lama" di perusahaan tersebut dan turut menjadi bagian dari perjalanannya sejak mula, tantangan tersebut tidak terlalu sulit diatasi.
"Karena saya juga ikut (Dailybox) dari nol, saya juga tahu secara operasional seperti apa. Cuma karena memang awalnya waktu kami bentuk adalah tujuannya membenahi tiap divisi, yang kebetulan tahun lalu saya di development, sekarang sudah punya polanya. Jadi, sudah dibuatkan masterplannya. Tinggal dijalankan," kata Raymond dalam wawancara eksklusif dengan Media Indonesia via konferensi video.
"Sekarang, sebagai CEO, tugas saya merapikan sistem yang sudah berjalan. Mengembangkan dan menjaga apa yang sudah dikerjakan."
Baca juga: Mau Dagangan Laris Manis? Masyarakat Ultramikro Kudu Naik Kelas |
Kapabilitasnya sebagai CEO terbentuk juga berkat jabatannya terdahulu di firma arsitektur. Ia yang saat terakhir menjabat managing director secara lini masa juga sama-sama mengurusi hal yang lebih luas.
"Terakhir saya di perusahaan arsitektur itu, saya sudah tidak jadi arsitek, saya jadi managing director. Jadi, bukan masalah gambarnya doang, melainkan bagaimana managing people-nya, waktu proyek, lini masanya karena semua term based, kan, pembayarannya. Jadi cash flow-nya juga diaturin. Jadi, ujung-ujungnya udah ngurusin bisnis, tidak ngurusin proyek lagi. Sekarang di Dailybox, ya, sama soal bisnis juga. Beda kotaknya saja," ujar sarjana arsitektur dari Universitas Pelita harapan itu, tersenyum.
Kini, perusahaannya telah berekspansi hingga ke 150 titik di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, mereka juga telah membuka gerai di Singapura. Menurut Raymond, salah satu yang juga cukup krusial di dalam bisnis kuliner ialah ekspansi. Oleh sebab itu, tahun ini, Dailybox tetap memproyeksikan ekspansi ke titik lain, di kota-kota kecil. Sebelumnya, mereka telah berekspansi ke kota yang lebih besar.
Modal ekspansi itu didapat dari pendanaan seri B secara grup perusahaan (Dailybox Group) pada pertengahan tahun lalu, sekitar Rp355 miliar. Dailybox Group, kini memiliki unit usaha kuliner lain, yakni Breadlife (akuisisi), Shirato, Lu'miere, dan Antarasa. Secara performa bisnis grup, mereka juga mengeklaim telah mencetak peningkatan pendapatan.
"Secara komposisi (pendapatan), kenapa juga namanya masih Dailybox Group? Karena merek ini yang masih jadi penyumbang terbesar (sekitar 60 persen). Kami juga sudah mulai shifting ke offline, tidak sepenuhnya online. Salah satu cara yang ditempuh ialah mengakuisisi brand yang sudah kuat di offline. Sekarang penetrasinya di pasar antara online dan offline Dailybox adalah 70:30," jelas Raymond.
Sesuai dengan proyeksi
Meski tahun ini isu resesi cukup kencang berembus dan berimpak pada berbagai sektor perusahaan dan bisnis, Raymond cukup optimistis perusahaannya tetap bertumbuh. Ia menuturkan, walau secara karakter bisnisnya ialah perusahaan rintisan, dalam praktiknya ada nilai-nilai bisnis secara konvensional yang menjadi acuan, yakni untung."Ujung-ujungnya, kan, semua bisnis itu kalau tidak untung, ngapain dikerjain? Jadi, di dalam Dailybox kami memang ada dua hal yang secara bisnis itu kami perhatikan. Salah satunya memang, ya, profit tadi, EBITDA (earning before interest, tax, depreciation, and amortization/pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi). Jadi, itu dihasilkan dari setiap gerai. Di seluruh unit grup perusahaan masih positif. Mencetak profit."
Dengan demikian, Dailybox pada tahun ini masih sesuai dengan proyeksi untuk melanjutkan ekspansi secara geografis dan pengembangan merek-merek baru dalam grup perusahaan. Itu termasuk di antaranya merek baru ayam goreng dan produk minuman teh.
Raymond mengatakan tahun ini menjadi momentum untuk ekspansi secara besar-besaran merek-merek baru yang tergabung dalam grup perusahaannya.
"Ekspansi sudah pasti tetap jalan. Tapi dengan isu atau kondisi sekarang seperti resesi, PHK, kami bukannya santai. Tapi selama kita masih on track, karena tadi yang saya bilang, kami juga memang mementingkan profit. Jadi, kami cuma bisa atur dua hal dari internal kami, yaitu COGS (cost of goods sold/harga pokok penjualan), paling simpelnya itu modal dari bahan baku per item. Itu kami tekan dengan efisien tanpa menurunkan kualitas produk."
Salah satu efisiensi biaya produksi, kata dia, dilakukan dengan mengandalkan dapur terpusat (central kitchen). Dengan pemusatan dapur yang mampu mengakomodasi untuk beberapa merek di bawah naungan grup perusahaan, hal itu turut memangkas biaya produksi dan operasional.
Raymond menegaskan perusahaannya akan menjaga COGS dan EBITDA. Selama EBITDA gerai dan secara grup komposisinya positif, menurutnya, isu resesi dan PHK masih bisa diantisipasi.
Baca juga: Ini Rahasia Cuan Kesuksesan 3 Srikandi Bisnis Kuliner |
Chef terkenal
Salah satu strategi yang juga dimanfaatkan Dailybox ialah menggandeng para chef terkenal, seperti chef Juna atau chef Renatta. Tentunya kehadiran mereka sebagai wajah merek menjadi daya tarik bagi customer. Namun, para chef figur publik tersebut tidak saja dihadirkan sebagai perwakilan merek di depan pasar. Mereka juga dilibatkan dalam pengembangan produk.Dalam pengembangan produk itu, kata Raymond, ada dua hal yang menjadi dasar, yakni menu comfort food dan terjangkau. "Mau sebagus apa pun branding-nya, seterkenal apa pun figurnya, di F&B (food and beverage) kalau produknya tidak enak bahkan tidak bisa dimakan, ya tidak bisa diterima juga."
Sementara itu, di tengah persaingan ketat bisnis kuliner, Raymond juga tidak bisa memungkiri kreativitas yang selalu berkembang. Itu termasuk bermunculannya jenis-jenis baru olahan makanan. "Kembali lagi lihat pasarnya. Ada yang sustain, ada yang tidak. Faktor itu juga bisa dibilang, ya, dari customer-nya sendiri. Selama ujung-ujungnya diterima pasar, it works, ya it works." (Fathurrozak)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News