Maria Sanam, seorang ibu pengrajin tenun berusia 50 tahun asal Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT,. Foto: BCA.
Maria Sanam, seorang ibu pengrajin tenun berusia 50 tahun asal Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT,. Foto: BCA.

Kisah Penenun Kuliahkan Anak Berkat Karya Tenun Ikat Warna Alam

Arif Wicaksono • 27 Februari 2023 19:17
Jakarta: Melestarikan budaya leluhur bukanlah perkara mudah. Maria Sanam, seorang ibu pengrajin tenun berusia 50 tahun asal Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memperpanjang tradisi tenun ikat warna alam di Nusa Tenggara Timur (NTT) di tengah maraknya tradisi penggunaan benang berwarna sintetis.
 
baca juga: Punya Filosofi Mendalam, Ivan Gunawan Tergerak Lestarikan Tenun NTT

Maria sudah berkarya tenun ikat sejak di bangku kelas 3 SD, buah belajar dari kedua orang tuanya. Namun, dia menggunakan pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis, sebagaimana yang digunakan penenun lain di desanya. Bagi para penenun menggunakan benang berwarna sintetis bisa dibilang pilihan masuk akal karena mudah diakses, murah, dan prosesnya cepat.
 
Menggunakan benang berwarna alam memang bukan perkara mudah. Untuk mendapatkan benang berwarna merah saja benang perlu diminyaki lalu direndam ke sejumlah bahan seperti kemiri, daun dadap, daun widuri, hingga simplokos, dan terakhir diwarnai dengan akar mengkudu. Proses pewarnaan itu bisa memakan waktu kurang lebih sebulan lamanya.
 
"Tenun merupakan salah satu mata pencaharian Sa (Saya), ini telah membantu Sa untuk membiayai anak sekolah sampai kuliah," ujar Maria, Senin, 27 Februari 2023.

Perkumpulan Warna Alam Indonesia

Pertemuannya dengan Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) memperkenalkan kembali dengan tradisi tenun ikat berwarna alam, sebuah tradisi yang sejatinya telah berusia cukup tua di daerah sana.

Warlami juga bekerja sama dengan BCA menghubungkan kembali tradisi tenun berwarna alam ke komunitas penenun di Desa Nekemunifeto. Menurut Sekretaris Jenderal Warlami, Suroso, pewarna alam bukan sesuatu yang baru bagi mereka.
 
"Justru Warlami mengajak mereka menggunakan tradisi dan teknik yang sebenarnya sudah ada di mereka," jelas dia.
 
Sejak mendapat pelatihan dari Warlami pada Agustus 2022, Maria dan komunitas penenun di desanya sudah bisa memproduksi sejumlah tenun berkualitas tinggi. Harga jual satu tenun ikat berwarna alam dengan motif pahat dapat dijual sekitar Rp3 juta.
 
Dari 30 pengrajin di sana, jumlah tenun ikat yang dapat dihasilkan sekitar 125 kain tenun per tahun dengan harga jual sekitar Rp325 juta. Maria sebagai salah seorang penenun yang dilatih oleh Warlami mengatakan dapat membiayai anaknya berkuliah dan menghidupi kebutuhan keluarganya dengan cukup.
 
"Ini telah membantu para pengrajin tenun di Desa Nekemunifeto untuk bisa melestarikan budaya tenun bangsa serta membantu perekonomian kami," tutur Maria.
 
Terkait usaha tersebut, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) berkomitmen mendukung kegiatan pembinaan penenun berwarna alam di Desa Nekemunifeto, NTT. "Wastra Nusantara merupakan bentuk warisan budaya yang sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
 
Jahja mengaku bahagia dapat mengajak Maria ke perhelatan BCA Expoversary 2023 di ICE BSD, Tangerang, selama 23-26 Februari 2023 untuk memperkenalkan budaya tenun ikat berwarna alam ke masyarakat luas.
 
"Selain melestarikan tradisi, apa yang kami lakukan di Timor Tengah Selatan dapat turut membantu menggerakkan roda perekonomian setempat melalui produk tenun bernilai ekonomi tinggi dan ramah lingkungan," jelas dia.
 
Pada kesempatan yang sama, EVP Corporate Communication & Social Responsibility (CSR) BCA Hera F Haryn juga ingin memanfaatkan momen BCA Expoversary 2023 untuk mempromosikan dan mengedukasi nasabah dan masyarakat akan kekayaan budaya Indonesia yang sangat indah.

Sejarah VOC

Suroso menjelaskan pada mulanya masyarakat NTT, khususnya Timor Tengah Selatan telah menggunakan pewarna alam untuk tenun ikat. Namun kedatangan VOC dan hubungan perdagangan yang intens membuat penduduk setempat beralih ke pewarna sintetis.
 
"Tidak hanya di NTT, di mana ada wastra, wastra itu kain adati berupa tenun, batik, dan segala macam, pasti sejak zaman dulu sudah menggunakan bahan pewarna alam. Tapi sejak masuknya bahan pewarna sintetis saat VOC masuk, orang-orang asing membawa bahan-bahan pewarna sintetis, secara perlahan mereka beralih ke bahan pewarna sintetis yang lebih cepat pemakaiannya, lebih mudah, dan harganya lebih murah sehingga pewarna alam sebagian besar ditinggalkan,” tutur Suroso.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan