Menurut Luhut, pemerintah memutuskan untuk menyetop sementara ekspor dalam bentuk ore dikarenakan adanya kelebihan kuota. Semenjak pemerintah mempercepat larangan ekspor dari aturan awal yang akan dimulai di awal 2022 menjadi awal 2020, ekspor bijih nikel dengan kadar maksimal 1,7 persen telah melampaui kuota hingga tiga kali lipat.
"Jadi sementara kita evaluasi karena ada laporan yang kita dapat ekspor dari nikel ore itu sudah melampaui kuota sampai tiga kali lebih dari kuota yang ada," kata Luhut di Kemenko Maritim, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Oktober 2019.
Luhut mengatakan lonjakan tersebut terlihat dari data rata-rata kapal yang dipakai untuk menganggut ekspor kini mencapai 100-300 kapal per bulan. Sedangkan biasanya hanya 30 kapal.
Terdapat kecurigaan banyak yang memanfaatkan sisa waktu menuju hingga akhir 2019 untuk melakukan ekspor sebanyak-banyaknya. Padahal di dalam ketentuan yang ada, bijih nikel dengan kadar 1,7 persen diperbolehkan ekspor bagi kapal perusahaan yang membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter). Kuota ekspor pun diberikan sesuai dengan progres smelter yang dibangun.
"Yang terjadi ternyata tidak seperti itu. Orang yang tidak punya smelter pun atau yang punya smelter tapi tidak ada progres juga mengekspor nikel ore tadi dengan kadar yang ternyata lebih dari 1,7 persen, mungkin malah 1,8 persen lebih. Negara kan dirugikan," tutur dia.
Oleh karenanya pemerintah akan mengevaluasi terlebih dahulu dengan menyetop ekspor sementara waktu dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Luhut bilang evaluasi dan setop sementara ekspor hingga dua minggu. Adapun penghentian ekspor secara menyeluruh secara resmi akan dimulai sejak 1 Januari 2020.
"Ekspor itu berhenti 1 Januari 2020. Nah sementara, dari sini (hari ini) ke sana (menuju Januari 2020) kita temukan pelanggaran-pelanggaran yang masif. Jadi kita hentikan sementara, kita evaluasi. Syukur-syukur satu sampai dua minggu selesai, dan dibuka lagi," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News