Menurut Deen, anggapan holding yang menghilangkan status perusahaan negara namun tetap tidak menghilangkan kendali negara pada perusahaan tersebut justru keliru. Karena meskipun ada kepemilikan satu lembar saham dwiwarna (golden share), namun kewenangannya tetap terbatas.
"Mencalonkan dan/atau menetapkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris pun tidak serta merta memegang pengendalian PT (perubahan BUMN menjadi Perseroan Terbatas) karena kekuasaan tertinggi di dalam PT dipegang oleh RUPS, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007," jelas Deen dalam keterangannya, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.
Baca: Lepas Status Perseroan, PGN: Saham Pemerintah Dialihkan ke Pertamina
Termasuk, lanjut dia, argumentasi saham dwiwarna dapat menjamin pengendalian pemerintah, mandat Public Service Obligantion (PSO) hingga dapat melarang penjualan saham PT juga tidak berdasar.
Deen mengingatkan, dalam hukum, memperluas daya jangkau saham dwiwarna harus terlebih dahulu mengamandemen Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT (Perseroan Terbatas).
"Menghilangkan pemilikan saham sehingga BUMN berubah menjadi PT dan menjagokan saham dwiwarna, sama halnya dengan mempertaruhkan kepentingan negara, terlebih tidak ada UU yang mendasari. Ketiadaan dasar hukum saham dwiwarna berarti ada kekosongan hukum (rechts vacuum), sehingga munculnya wacana penjualan PT pasca-holding menjadi beralasan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News