"Ada teknologi lain yang secara ekonomi lebih murah dan secara risiko lebih rendah," kata pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Kamis, 27 Februari 2020.
Fabby mengatakan biaya investasi PLTN mencapai USD9 ribu, atau Rp126 juta per kilowatt. Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hanya USD800, atau Rp11,2 juta.
Pengelolaan limbah nuklir, lanjut dia, juga sangat pelik dan berisiko tinggi. Sterilisasi limbah nuklir membutuhkan waktu 60 hingga puluhan ribu tahun.
Baca: Menristek Dorong Batan Siapkan Teknologi PLTN
%20Fabby%20Tumiwa_%20Medcom_id%20Theo.jpg)
Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Medcom.id/Theofilus Ifan Sucipto
Celakanya, belum ada teknologi yang mampu menghancurkan limbah nuklir. "Anda hanya menikmati listriknya beberapa tahun tapi bagaimana menjaga limbahnya?" ucap Fabby.
Menurut dia, beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah mengurangi pembangunan PLTN. Mereka menyadari biaya dan risikonya sangat tinggi.
Fabby mengusulkan pemerintah menggunakan sumber daya lain sebagai pembangkit listrik. Misalnya panas bumi, angin, dan tenaga surya yang dinilai lebih efektif dan efisien.
“Kami (IESR) sudah hitung dari tenaga surya bisa memenuhi seluruh kebutuhan listrik,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News