Sempat mengemuka kabar insentif ekspor yang diberikan oleh regulator bagi pengusaha dengan kriteria tertentu munculkan pro dan kontra hingga saat ini.
Stephanie Saing, peneliti Indonesian Mining Center of Excellence tak bertepuk sebelah tangan dengan Pemerintah bahwa penciptaan nilai tambah wajib bagi Indonesia agar bahan mineral yang dimiliki terolah secara maksimal bahkan mendorong pertumbuhan industrialisasi dalam negeri.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 1 tahun 2014 yang diturunkan dari Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2014, menurutnya Pemerintah telah berupaya mengatur jenis-jenis komoditas yang wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri, termasuk penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu dan pada batasan minimum pengolahan yang harus dilakukan hingga 12 Januari 2017.
Namun bagi Stephanie, dalam konteks ini kepastian pasokan bahan baku merupakan salah satu isu penting yang harus diperhatikan banyak pihak. “Idealnya pembangunan sebuah smelter dilaksanakan setelah memiliki kepastian pasokan bahan baku untuk mendorong investasi ini menguntungkan dalam jangka panjang,” kata Dia.
Menurut Stephanie pasokan bahan baku dalam hilirisasi seharusnya tetap memerhatikan konservasi bahan galian tambang yang bersifat tidak terbarukan. “Secara konsep seharusnya konservasi bahan galian mengarahkan kepada pemanfaatan optimal baik yang ditambang maupun yang diolah dengan tetap memerhatikan kebutuhan masa mendatang” ujarnya.
“Kalau secara kaidah, setelah ditemukan cadangan bisa ditentukan batas area eksplorasi detail, perencanaan tambang optimal, pemanfaatan bahan galian secara maksimal termasuk peningkatan perolehan dan jumlah logam yang dapat diekstraksi,” katanya.
Soal pro kontra mengenai kebijakan ekspor dan smelter bahan tambang, Stephanie menyatakan pihak yang berkepentingan seharusnya tidak dapat menampik isi pasal 96 dan 141 UU No.4 tahun 2009 bahwa kewajiban konservasi seharusnya mengarahkan kepada pendekatan jangka panjang dan bijaksana untuk mengembangkan dan memanfaatkan bahan galian tambang.
“Seharusnya jika pemahaman terhadap konservasi sumber daya alam sudah satu frame, kesesuaian bahan galian akan memberikan desain terbaik dalam menentukan upaya pengusahaannya apakah pengolahan langsung atau ekspor,” katanya.
Dalam studi kasus komoditas nikel yang sempat diwacanakan diberikan relaksasi seharusnya mempertimbangkan banyak faktor. Kementerian ESDM memprediksi pemanfaatan nikel kadar rendah bakal meningkat di tahun mendatang.
Menurut data yang diperolehnya, dia memperkirakan produksi nickel pig iron (NPI) pada tahun 2019 diperkirakan akan melonjak hingga 2.4 juta ton dengan total pertumbuhan nikel kadar rendah mencapai 17,2 juta ton. Pemanfaatan bijih nikel kadar rendah ini mengindikasikan hilirisasi yang diharapkan Pemerintah berjalan.
Tetapi dia mengingatkan pengolahan bijih nikel kadar rendah ini tidak mudah. Rantai pasok bijih nikel berkadar rendah yang masih terbatas di Indonesia pun masih harus menunggu beberapa tahun mendatang karena proses pembangunan komitmen yang tengah berjalan. Menurut Stephanie, dari data Kementerian ESDM mencatatkan baru ada 4 smelter nikel kadar rendah yang sudah rampung dan siap beroperasi.
Sedangkan smelter lain tengah dalam proses pembangunan dengan tahapan yang beragam. Menurutnya masih banyak sumberdaya nikel kadar rendah yang masih belum terserap. “Nyatanya beberapa smelter dalam negeri tak berminat nikel kadar rendah,” ujar Stephanie.
Menurutnya, perlakuan terhadap nikel kadar rendah perlu penegasan. “Biaya produksi nikel berkisar USD 8.000/ton di awal 2015 masih lebih tinggi dibandingkan harga jual nikel saat ini,” kata dia.
Stephanie menyatakan dengan harga jual nikel yang rendah di pasar global, akan menyebabkan banyak para pelaku industri hanya memperoleh margin yang rendah. Imbasnya, banyak proyek pertambangan yang berpotensi tutup akibat kesulitan investasi, terutama untuk pembiayaan pembangunan pabrik pengolahan dan secara langsung akan berdampak pada penerimaan negara melalui pajak dan PNBP lainnya.
“Perlu dipertimbangkan skenario lainnya yang dapat memanfaatkan nikel berkadar rendah yang selama ini hanya menjadi waste. Tentunya dengan mekanisme yang diatur dan dimonitor ketat oleh Pemerintah," ucap Stephanie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News