Namun, Head of the Department of Economics CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan,ketika pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara (Minerba), harus pula menerima konsekuensinya. Pemerintah harus rela menerima pil pahit bila ekspor komoditas itu menurun.
"Harus dijalankan dan harus juga konsekuen dengan implikasi yang ada. Harus bisa menerima bahwa ekspor kita akan turun lebih jauh lagi," ujar Yose, di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Rabu (11/1/2017).
Baca: Jokowi: 83 Tahun Lagi Cadangan Minerba Diprediksi akan Habis
Selama ini, sebutnya, pemerintah tak pernah memperhitungkan konsekuensi yang timbul akibat kebijakan pelarangan ekspor barang tambang mentah. Sebab pelarangan ekspor tersebut justru mengurangi neraca perdagangan Indonesia.
"Apalagi sekarang harga komoditas mulai meningkat, sementara ekspor kita akan menurun. Jadi pemerintah harus tegas mengeluarkan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat. Harus dijalankan benar-benar," tegas Yose.
Seperti diketahui, PP Nomor 1 tahun 2014 merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Minerba. Dalam PP tersebut diterangkan soal izin untuk perusahaan tambang menjalankan ekspor mineral olahan yang berakhir per 11 Januari 2017.
Baca: Enam Landasan Pemerintah Putuskan Relaksasi Ekspor Mineral Olahan
Jika pemerintah tidak merevisi beleid itu, maka perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia dan korporasi lainnya tidak boleh lagi melakukan ekspor konsentrat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Selasa, 10 Januari 2017 malam belum juga bisa memastikan untuk mengeluarkan relaksasi ekspor mineral olahan. Padahal, perusahaan tambang seperti Freeport tengah menunggu kepastian pemerintah agar bisa melanjutkan kembali ekspor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News