Ilustrasi ecommerce. Foto: Medcom.id.
Ilustrasi ecommerce. Foto: Medcom.id.

Strategi Brand Menghadapi Fragmentasi Saluran Belanja Online dan Offline

Arif Wicaksono • 20 Desember 2025 11:23
Tangerang: Fragmentasi saluran belanja menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi brand di Indonesia sepanjang 2025. Perpaduan antara kanal online, offline, marketplace, hingga social commerce membentuk pola belanja konsumen yang semakin tidak linear. 
 
Sepanjang 2025, pertumbuhan e-commerce Indonesia tetap bergerak stabil. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi e-commerce pada kuartal III-2025 mencapai Rp134,67 triliun, tumbuh 20,5% secara tahunan (YoY). Di balik angka tersebut, muncul tantangan baru bagi brand yakni konsumen tidak lagi berbelanja melalui satu kanal tunggal.
 

Konsumen kini dapat mengenal produk melalui media sosial, membandingkan harga di marketplace, mencoba produk di toko fisik, lalu menyelesaikan transaksi secara daring. Pola lintas kanal ini menuntut brand untuk memastikan pengalaman yang konsisten, baik online maupun offline.
 
“Fragmentasi saluran belanja sering kali dipersepsikan sebagai kompleksitas tambahan. Namun, bagi brand yang mampu mengelolanya, kondisi ini justru membuka peluang untuk memahami perilaku konsumen secara lebih mendalam dan membangun hubungan yang lebih relevan,” ujar  COO Sirclo Danang Cahyono.

Dari perspektif kebijakan, pemerintah menilai strategi omnichannel menjadi salah satu pendekatan penting untuk menjaga keseimbangan antara perdagangan konvensional dan digital.
 
Plt. Direktur Perdagangan melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Bambang Wisnubroto menegaskan pertumbuhan e-commerce yang pesat perlu diiringi dengan strategi yang tidak mematikan kanal offline.
 
“Perubahan preferensi belanja dan persaingan harga yang ketat menuntut pelaku usaha untuk menyeimbangkan perdagangan offline dan online. Strategi omnichannel menjadi kunci agar kedua kanal dapat saling melengkapi, bukan saling menggantikan,” ujarnya.
 
Namun, pertumbuhan e-commerce yang cepat, perubahan preferensi belanja konsumen, serta persaingan harga yang ketat menghadirkan tantangan serius bagi perdagangan konvensional, terutama bagi pelaku UMKM perseorangan. Perlu diingat bahwa sekitar 99 persen pelaku perdagangan di Indonesia merupakan UMKM, sehingga kondisi ini menjadi tantangan tersendiri.
Situasi tersebut menuntut strategi yang mampu menyeimbangkan perdagangan konvensional dengan perdagangan melalui sistem elektronik. Untuk itu, strategi omnichannel terus ditekankan sebagai pendekatan utama. 
 
“Saat ini, tantangan tersebut bergeser menjadi benturan antara perdagangan konvensional dan perdagangan online. Oleh karena itu, pendekatan omnichannel didorong agar pelaku usaha offline juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk berjualan secara online. Tanpa adaptasi ini, pelaku usaha berisiko tertinggal,” tegas dia. 
 
Melalui strategi omnichannel, pelaku usaha dapat menggabungkan keunggulan masing-masing kanal, seperti kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan pada kanal online, serta interaksi sosial dan pengalaman merek (brand experience) pada kanal offline. Pemerintah memberikan perhatian besar terhadap penerapan strategi ini.
 
Riset Jakpat mencatat 95% konsumen melakukan transaksi daring pada Semester I 2025. Meski demikian, kehadiran toko fisik tetap relevan, terutama sebagai titik pengalaman (experience point) dan kepercayaan (trust building).

Pertumbuhan Social Commerce

Menurut Head of Research, Jakpat Aska Primadi, fragmentasi saluran belanja sepanjang 2025 dipengaruhi oleh pertumbuhan social commerce, meluasnya basis konsumen di kota tier dua dan tiga, serta meningkatnya ekspektasi terhadap pengalaman belanja yang personal dan relevan.
 
“Konsumen kini semakin rasional dan aktif. Mereka mencari informasi lintas kanal, membandingkan opsi, dan memastikan nilai produk sebelum membeli. Brand tidak bisa lagi mengandalkan satu titik kontak,” jelas Aska.
 
Selanjutnya, dilihat dari sisi share of buyer, survei menunjukkan bahwa 51,8 persen pembelian dilakukan secara online, sementara 48,2 persen dilakukan secara offline. Dengan kata lain, mayoritas transaksi kini sudah dilakukan melalui kanal online. Fenomena ini menegaskan kecenderungan konsumen yang semakin beralih ke pembelian online, bahkan mulai melampaui pembelian offline.
 
“Jika ditinjau berdasarkan kategori produk, terdapat perbedaan pola belanja. Produk fashion pria dan wanita, kosmetik, serta produk kesehatan lebih banyak dibeli secara online. Sementara itu, produk makanan dan minuman masih lebih dominan dibeli secara offline. Perbedaan ini menjadi awal terjadinya fragmentasi pasar. Konsumen kini memiliki lebih banyak pilihan kanal dan tidak lagi terbatas pada satu cara berbelanja,” tegas dia. 
 
Proses customer journey juga semakin dinamis. Tahap awal pencarian tidak selalu dimulai dari kanal yang sama dengan tempat pembelian. Konsumen dapat memulai pencarian secara offline lalu membeli secara online, atau sebaliknya. 
 
Akses internet yang semakin luas, termasuk di wilayah tier dua dan tier tiga, turut mempercepat perubahan ini. Namun, platform yang digunakan konsumen sangat bergantung pada preferensi, minat, dan segmentasi masing-masing individu. 
 
“Setiap konsumen memiliki alur yang berbeda, mulai dari tahap awareness hingga pembelian. Inilah yang menggambarkan fenomena omnichannel sekaligus fragmentasi pasar,” tegas dia.
 
Dalam dinamika belanja online dan offline, salah satu alasan utama konsumen berpindah ke online adalah keterbatasan informasi di kanal offline. Konsumen kini lebih rasional dan cenderung mengumpulkan informasi terlebih dahulu sebelum membeli. 
 
“Keterbatasan ulasan di kanal offline menjadi kendala, sementara konsumen membutuhkan referensi, ulasan kepuasan, dan bukti sosial sebelum mengambil keputusan. Keaslian dan transparansi produk juga dinilai lebih mudah diverifikasi di kanal online, karena konsumen dapat menilai kredibilitas penjual melalui website, konten, dan ulasan,” tegas dia. 
 
Dari sisi kanal belanja, jumlah konsumen yang berbelanja di warung kelontong dan pasar tradisional cenderung menurun. Sebaliknya, belanja melalui media sosial meningkat, begitu pula pembelian melalui website dan aplikasi resmi brand. 
 
“Artinya, belanja online tidak hanya terjadi di marketplace e-commerce, tetapi juga melalui kanal media sosial brand dan kanal digital lainnya. Setiap konsumen kini memiliki preferensi kanal masing-masing,” tegas dia. 

Tiga Komponen 

Menanggapi hal ini, Sirclo mengidentifikasi tiga komponen utama yang perlu dikelola brand dalam menghadapi fragmentasi saluran belanja: Demand Engine untuk membangun minat beli lintas kanal, Commerce Engine untuk memastikan proses transaksi yang mulus, serta Fulfillment Engine guna menciptakan pengalaman pasca-transaksi yang konsisten.
 
“Ketika ketiga komponen ini terintegrasi, brand dapat menjaga pengalaman konsumen tetap utuh, meskipun konsumen berpindah dari online ke offline, atau sebaliknya,” tambah Danang.
 
Diskusi dalam Sirclo Insights Webinar 2025 menegaskan fragmentasi saluran belanja bukan fenomena sementara. Memasuki 2026, brand dituntut untuk bergerak melampaui sekadar kehadiran di banyak kanal, menuju integrasi yang lebih dalam.
 
Beberapa pendekatan strategis yang dinilai relevan antara lain memperkuat integrasi omnichannel, memanfaatkan automasi dan standardisasi proses untuk efisiensi operasional, serta membangun sistem distribusi dan fulfillment yang mampu menjangkau konsumen lintas wilayah.
 
“Pertumbuhan berkelanjutan ke depan tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak kanal yang dimiliki brand, tetapi oleh seberapa konsisten dan terintegrasi pengalaman yang dirasakan konsumen di setiap titik interaksi,” tutup Danang. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan