Eknonomi digital. Foto: Medcom.id.
Eknonomi digital. Foto: Medcom.id.

Kaleidoskop Ekonomi 2023: Musim Startup Indonesia Berguguran

Arif Wicaksono • 31 Desember 2023 06:49
Jakarta: 2023 menjadi tahun yang cukup berat bagi perusahaan rintisan. Banyak kasus penutupan bahkan pengurangan karyawan di tahun ketika suku bunga mulai mendaki tinggi. Pada tahun ini, era pendanaan startup semakin menipis. Tak hanya itu startup juga dituntut untuk semakin efisien dalam beroperasi, sehingga mengejar laba menjadi tugas utama startup.
 
baca juga:  Daftar 10 Startup yang Gulung Tikar di 2023 dan Penyebabnya

Menurut data laporan kolaborasi Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk e-Conomy SEA 2023, nilai investasi ke startup di Indonesia turun sebesar 87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada semester I-2023. Nilainya turun dari USD3,3 miliar menjadi hanya USD400 juta atau sekira Rp6,3 triliun (asumsi kurs Rp15.757 per USD).
 
AC Ventures bersama Bain & Company merilis laporan komprehensif mengenai lanskap modal ventura atau Venture Capital (VC) di Indonesia, berjudul ‘Indonesia Venture Capital Report 2023’ yang menjelaskan tingkat pendanaan hingga kuartal ketiga, hanya mencapai 0,3x dibandingkan dengan kuartal ketiga 2022.
 
Kondisi ini membuat startup tak bisa sembarangan melakukan bakar duit karena pendanaan semakin terbatas. Investor tak mau lagi membiarkan dananya digunakan untuk marketing atau biaya promosi gila-gilaan untuk memperbesar transaksi dan merebut pasar semata.

Sepanjang 2023, ada sejumlah perusahaan rintisan yang melakukan pemangkasan staf karyawan dari startup yang masih beroperasi seperti Lamudi, Goto, Bibit, Pluang, Carsome, Shopee Indonesia, Tanihub, Zenius, Linkaja, Sayurbox, Goto dan Koinworks, serta Ajaib.

Fenomena global

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi seolah sudah menjadi fenomena global seperti yang terjadi dengan aksi pemangkasan karyawan di Spotify, ByteDance, Buzzfeed, Lyft, Zoom, Alfabet hingga Amazon yang dikabarkan melakukan pemangkasan sebanyak 27 ribu karyawan. Meta sebagai pemilik Induk Facebook juga melakukan pemangkasan dengan total sebesar 10 ribu karyawan.
 
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan faktor utama badai startup adalah risiko inflasi maupun resesi global yang mungkin dapat terjadi tahun ini.
 
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono mengatakan, efisiensi ini sejatinya sudah direncanakan bertahun-tahun sebelumnya, tetapi tidak dilakukan karena berbagai alasan, termasuk pandemi covid-19.
 
"Itu fenomena gunung es saja, ini sudah lama mereka tahan-tahan karena sebenarnya untuk PHK ribuan pekerja dapat mencoret nama perusahaan, namun mau tidak mau akhirnya harus dilakukan," katanya.
 
Faktanya sebagian besar dari startup di Indonesia belum mencatatkan keuntungan kepada pemegang saham. Bahkan rugi sejumlah Unicorn seperti Goto mencapai ratusan miliar dan diperkirakan akan masih berusaha memangkas kerugian untuk mencari profit.


Banyak startup gulung tikar


Selain itu di era suku bunga tinggi ini beberapa valuasi startup juga menguap karena gulung tikar. Dalam catatan medcom ada 10 startup yang bangkrut pada tahun ini dengan salah satu yang terbesar adalah pegipegi.
 
Medcom.id mencatat beberapa startup yang terpaksa gulung tikar seperti Airy Room, Fabelio, JD.ID, Sorabel, Stoqo, Qlapa, CoHive, Beres.id, Rumah.com, hingga Pegipegi.
 
Pegipegi tutup setelah dikabarkan mendapatkan injeksi dana dari induk Traveloka. Valuasi pegipegi yang mencapai unicorn memberikan gambaran berinvestasi di startup bervaluasi jumbo bukan berarti bebas dari risiko gagal.
 
Dari penutupan yang terjadi pada 2023, tampak startup meninggalkan pegawai sebanyak dihitung dari data Linkedin bisa mencapai 2.625 karyawan. Dari jumlah itu tak semuanya terserap ke sektor formal karena startup yang ada masih sibuk merampingkan diri agar lebih efisien lagi.

Kinerja saham


Namun dari harga saham tampak saham teknologi belum mampu menarik minat investor. Kinerja PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) masih di bawah dari harga perdana di pasar saham.
 
Catatan Medcom.id, saham GOTO sudah turun sebesar dalam 6,59 persen ytd, BUKA jatuh 20,9 persen secara ytd, BELI naik 2,56 persen. Secara kinerja mereka sudah berusaha mengurangi rugi dibandingkan 2022.
 
Walaupun merugi perusahaan rintisan ini dikabarkan masih memiliki masa depan seiring dengan meningkatnya transformasi digital di indonesia serta populasi indonesia yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.


Hal ini apakah masih akan terjadi di 2024?


Tantangan perusahaan rintisan tetap ada dari sisi iklim ekonomi global yang masih meredup. We Forum menulis pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melambat di 2024. Ekonomi melambat karena berbagai faktor seperti suku bunga yang tinggi, kenaikan harga, dan kondisi geopolitik dunia yang memperburuk prospek keuangan global.
 
Walaupun era suku bunga tinggi sudah usai, suku bunga masih lebih tinggi dibandingkan pada 2019. Selain itu ketidakpastian ekonomi global seperti konflik di Timur Tengah akan mempengaruhi arus investasi ke perusahaan rintisan yang tampak semakin berisiko.
 
Tinc (Telkomsel Accelerator) memaparkan startup yang mampu beradaptasi dan membaca perubahan pasar dengan cepat, merespons kebutuhan pelanggan, serta mengubah strategi sesuai dengan dinamika ekosistem. Startup yang bertahan bukanlah startup yang memiliki valuasi yang tinggi atau investor yang banyak, melainkan startup yang mampu beradaptasi.
 
Kemampuan beradaptasi di sini bukan hanya menjadi elemen kunci untuk bertahan, tetapi juga menjadi pondasi untuk menciptakan inovasi yang dibutuhkan untuk memenangkan persaingan. ada beberapa tren yang menarik di tahun depan seperti fintech, AI, pendidikan, kesehatan, hingga e-commerce,

Daya saing digital dan populasi Indonesia


Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengungkapkan jumlah populasi Indonesia yang semakin banyak menggunakan internet. Serta adopsinya akan terus bertambah juga membuat startup memiliki lebih banyak peluang untuk menghadirkan solusi khususnya secara digital untuk memenuhi kebutuhan masyarakat digital Indonesia.
 
Nezar menyebutkan berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) di 2023 sudah ada 215 juta masyarakat Indonesia yang menjadi pengguna internet. Alasan lainnya yang menjadi dasar startup masih menjadi bisnis yang menarik untuk dikembangkan adalah Indeks Daya Saing Digital Indonesia terbilang besar dan menunjukkan masih potensi untuk startup menghadirkan solusi dan inovasi.
 
"Selama tiga tahun terakhir, Indonesia menunjukkan Indeks Daya Saing Digital yang menjanjikan yaitu 38,5 persen. Ini menjadi indikator iklim pasar di Indonesia semakin kompetitif dan dapat menjadi fondasi bagus untuk hadirnya inovasi-inovasi baru," kata Nezar.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan