Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji. Foto: Istimewa.
Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji. Foto: Istimewa.

Mengancam Petani Tembakau, Kemasan Rokok Polos Bisa Tambah Kemiskinan Baru

Husen Miftahudin • 12 September 2024 11:19
Jakarta: Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) menduga Menteri Kesehatan terlalu memaksakan terbitnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Pasalnya, terdapat beberapa kejanggalan atau disharmoni antar pasal.
 
Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji mengatakan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin belum lama menerbitkan PP 28/2024 yang menuai kontroversi bagi kalangan petani tembakau, termasuk kalangan industri kretek nasional. Kini, Menkes menyiapkan RPMK yang secara norma inkonstitusional alias mengabaikan mandat PP 28/2024.
 
"Kami mensinyalir Menkes memang sengaja melanggar Konstitusi dalam membuat RPMK. Apakah pak Menkes sudah 'masuk angin' karena ada titipan dari pihak tertentu? Atau ada pihak tertentu yang cawe-cawe RPMK? Sejatinya Pak Menkes bekerja untuk pihak asing atau bekerja untuk rakyat Indonesia," ketus Agus dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 12 September 2024.
 
Diketahui, hampir seluruh pelaku usaha industri hasil tembakau menolak keras ketentuan dalam RPMK terkait penerapan penyeragaman kemasan/kemasan polos. Padahal, kata Agus, ketentuan penyeragaman kemasan/kemasan polos pada dasarnya tidak dimandatkan oleh PP 28/2024.
 
"Beberapa negara yang menerapkan penyeragaman kemasan/kemasan polos terbukti tidak secara drastis menurunkan angka perokok aktif. Yang terjadi justru peredaran rokok ilegal makin meningkat. Dampak lain, penerimaan cukai negara turun, serta melahirkan kemiskinan baru," tegas dia.
 
DPN APTI juga mencatat, ada kejanggalan dalam RPMK, yakni jangka waktu penerapan ketentuan standardisasi Kemasan yang tidak sesuai amanat PP 28/2024. Ketentuan Pasal 1157 pada PP 28/2024 mengatur bahwa pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan pencantuman peringatan kesehatan dalam waktu dua tahun sejak PP diundangkan, yaitu di Juli 2026.
 
"Namun, ketentuan pada RPMK tidak sesuai dengan amanat PP 28/2024, yang mengatur bahwa pelaku usaha wajib mematuhi aturan mengenai standardisasi kemasan termasuk desain dan tulisan, dan peringatan kesehatan, dalam waktu satu tahun sejak PP 28/2024 diundangkan, yaitu Juli 2025," terang dia.
 

Diskriminatif

 
Catatan lain, aturan seluruh bentuk produk tembakau dan rokok elektronik (RE) kecuali Rokok Elektronik Padat patut diduga diskriminatif. Pasalnya, akan menguntungkan pihak tertentu.
 
"Ada disharmoni antara Pasal 3 dan Pasal 7. Kami mencium aroma titipan pihak tertentu untuk tidak mengatur dan tidak mengendalikan Rokok Elektronik Padat yang merupakan produk padat impor," katanya.
 
Pasal 3 ayat (1) RPMK menyebutkan ruang lingkup Permenkes mencakup Standardisasi Kemasan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Pasal 3 ayat (3) mengatur bahwa Rokok Elektronik meliputi: (i) sistem terbuka atau isi ulang cairan nikotin; (ii) sistem tertutup atau cartridge sekali pakai; dan (iii) padat.
 
Namun, pengaturan lebih lanjut mengenai standardisasi kemasan di Pasal 7 ayat (1) hanya mengatur untuk standardisasi kemasan rokok elektronik sistem terbuka atau isi ulang dan Pasal 7 ayat (2) mengatur kemasan sistem tertutup (cartridge).
 
"Tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai rokok elektronik padat. Ada apa dengan Menkes? Menkes mengabdi untuk rakyat Indonesia atau mengabdi proxy agen kesehatan global? Ataukah ada cawe-cawe pihak tertentu ke Menkes demi ingin memenangkan pasar?" tanya Agus.
 
Baca juga: Industri Kretek Nasional 'Tercekik' PP 28/2024
 

Aturan pita cukai

 
Terkait aturan pita cukai tidak boleh menutupi peringatan kesehatan. Pada
Pasal 9 RPMK mengatur peringatan kesehatan tidak boleh tertutup oleh apapun termasuk pita cukai rokok, dan harus dapat terbaca dengan jelas.
 
Menurut Agus, jika aturan itu diterapkan, maka posisi perekatan pita cukai untuk rokok mesin yang saat ini dilakukan harus diubah dengan menyesuaikan aturan RPMK.
 
"Itu akan makin membebani pelaku industri kretek karena harus ada investasi tambahan untuk pengadaan mesin perekat pita cukai yang baru, mengingat ukuran pita cukai rokok mesin saat ini tidak memungkinkan untuk perekatan pada kemasan tanpa menutupi peringatan kesehatan," tegas dia.
 
Pada titik inilah, DPN APTI menolak dengan tegas PP 28/2024 dan RPMK yang inkonstitusional, diskriminatif, tidak deliberatif, sehingga akan berdampak ganda (multiflier effect) bagi kelangsungan usaha industri kretek nasional di Tanah Air.
 
"Menkes semestinya arif dan bijak dalam merumuskan produk hukum dengan mematuhi norma hukum yang berlaku. Jangan sampai pak Menkes masuk angin oleh pihak tertentu sehingga membunuh petani tembakau yang merupakan soko guru ekonomi bangsa," tutup Agus.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan