Ilustrasi. Foto: dok MI/Susanto.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Susanto.

Kesepakatan Ketersediaan Pangan Harus Lahir saat KTT G20 di Bali

Ade Hapsari Lestarini • 02 November 2022 19:31
Jakarta: Indonesia dinilai perlu meningkatkan fungsi kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga. Hal ini penting untuk menjaga ketersediaan pangan nasional di balik ancaman krisis pangan global.
 
Menurut Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Ronnie S Natawidjaja, pertemuan G20 di Bali pada 15-16 November 2022 harus dapat melahirkan kesepakatan-kesepakatan strategis dalam menjaga ketersediaan pangan.
 
"Kesepakatan antarnegara harus dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan ke depan. Fungsi kerja sama bilateral harus ditingkatkan lagi," kata Ronnie ketika dihubungi, dikutip Rabu, 2 November 2022.

Berbeda dari Ronnie, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam banyak negara di dunia. Kolaborasi memungkinkan memitigasi dan mengatasi triple krisis: krisis energi, pangan, dan keuangan.
 
Syahrul menjelaskan, sebagai bagian dari komunitas global, G20 berkomitmen mendukung peran krusial dari sektor pertanian dalam menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang. Juga menjamin pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
 
Dalam berbagai kesempatan, Syahrul berulangkali menegaskan kunci mengatasi krisis pangan global adalah kebersamaan. "Tidak boleh ada negara yang terlewatkan dan tertinggal, kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang," tegas Syahrul.
 
Baca juga: Isu Utama KTT G20, Bahas Krisis Pangan dan Energi

Sistem barter

Ronnie menjelaskan, kerja sama bilateral itu bisa diwujudkan dalam sistem barter. Masing-masing negara memberikan yang terbaik yang dimiliki.
 
"Misal, Indonesia banyak produksi buah, lalu Australia banyak memproduksi gandum. Ini bisa saling tukar, barter. Jadi, stok (pangan) aman, dan harga pun bisa dikontrol," jelas Ronnie.
 
Indonesia, kata dia, tak perlu memaksakan diri untuk menghasilkan komoditas tertentu yang memang tidak bisa diproduksi secara maksimal. Sebaliknya, Indonesia mesti meningkatkan potensi yang ada untuk kemudian dijadikan komoditas unggulan.
 
Ronnie mengambil contoh komoditas kedelai. Dikatakannya, faktor geografis, yaitu penyinaran matahari, membuat produksi kedelai nasional tidak mampu mengimbangi produksi kedelai dari Tiongkok.
 
"Kedelai kita itu wangi dan bulirnya besar. Tapi butuh penyinaran yang lama. Penyinaran bisa dibantu oleh penggunaan lampu di green house, tapi dijualnya jadi mahal nanti. Sudah kita pakai kedelai dari Tiongkok, lalu kita kasih apa yang Tiongkok butuhkan yang ada di kita. Itu namanya memaksimalkan potensi kerja sama bilateral," ungkapnya.
 
Ronnie juga mencontohkan komoditas gandum yang bisa didapat dari Australia. Menyusul krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pasokan gandum ke Indonesia menjadi terhambat.
 
"Harganya pun naik 35 persen. Dan sepertinya akan naik lagi. Kita bisa minta Australia untuk support kebutuhan gandum kita," pungkasnya.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan