"Skema cost recovery lebih sesuai dan paling fair, apalagi sumur-sumur kita sudah tergolong mature. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi," kata Kholid dikutip dari Antara, Kamis, 20 Juni 2024.
Kholid menambahkan, skema cost recovery menjadi cocok karena biaya investasi yang dibutuhkan semakin besar. Pasalnya, minyak terkuras terus sehingga kandungan reservoir sudah berubah.
"Kalau dulu setiap satu sumur kandungannya 90 persen minyak 10 persen air, sekarang bisa terbalik menjadi rata-rata 10 persen minyak dan 90 persen air," kata dia.
Karena lebih banyak kandungan air itulah, lanjut Kholid, maka teknologi untuk menghasilkan minyak semakin mahal. "Biaya produksi meningkat sementara produksi turun. Itu karakter alami. Kecuali dilakukan eksplorasi sebanyak-banyaknya dan investasi dalam jumlah besar," kata dia.
Atas dasar itu, skema cost recovery paling memungkinkan untuk mendongkrak produksi. Apalagi, saat ini pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.
"Misalnya, kita punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak pada 2030, tapi kalau tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil," ujar Kholid.
| Baca: Daya Tahan Ekonomi Indonesia Diuji Lambatnya Pemulihan Ekonomi Global |
Menurut dia, industri migas tidak bisa dipahami dengan prinsip ekonomi umum. Misal, kata dia, kontraktor yang sudah menginvestasikan dana Rp1 triliun pun belum tentu memperoleh minyak.
Makanya, Kholid menilai wajar jika terdapat kontraktor yang ingin kembali berubah dari skema gross split menjadi cost recovery. Karena tanpa cost recovery, kata dia, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.
"Ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun," kata Kholid.
Ada perubahan
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyatakan akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas. Dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery.Dwi mengatakan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) merasakan skema gross split memberatkan. KKKS tidak leluasa bergerak melaksanakan aktivitas. "Karena itulah, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery," kata Dwi.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat rencana perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery cukup beralasan. Contohnya adalah Blok Rokan.
Pri menilai, skema kontrak gross split bakal memberatkan Pertamina Hulu Rokan dalam upaya melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut. "Memang tidak pernah cocok gross split untuk lapangan yang masih butuh pengembangan berisiko dan kapital besar," kata dia.
Perbedaan cost recovery dan gross split
Skema cost recovery dan gross split merupakan perhitungan bagi hasil kontrak pengelolaan wilayah kerja migas di Indonesia antara pemerintah dan kontraktor migas. Lalu apa perbedaan keduanya?Buku saku Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendefinisikan cost recovery sebagai pengganti biaya produksi. Biaya untuk mengganti belanja eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi yang dikeluarkan kontrak bagi hasil.
Pada skema ini, kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui kepala badan pelaksana. Biaya operasi ini diterima setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
Sedangkan skema Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas yang dilakukan di depan. Jadi, pemerintah dan kontraktor migas sudah menyepakati dari awal. Skema gross spilt membuat biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id