Pendekatan ini dinilai krusial terutama dalam rangka meningkatkan efektivitas penyusunan aturan turunan seiring singkatnya target penyelesaian peraturan tersebut, yaitu pada September 2023.
"Jadi, perlu dikritisi terkait dengan partisipasi publik itu. Apakah di dalam perumusannya itu melibatkan pihak-pihak terkait atau tidak?" ungkap Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 6 September 2023.
Minimnya partisipasi publik ini juga dinilai dari minimnya informasi yang tersebar secara publik mengenai upaya penyusunan aturan turunan UU Kesehatan yang bersifat omnibus law tersebut. Saat ini, belum diketahui secara jelas seperti apa bentuk PP yang akan menjadi aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut.
"Kalau misalkan jadi satu PP, berarti kan terdiri dari sejumlah klaster. Kalau tanpa klaster kan bisa bikin bingung. Nah, ini seperti apa?" ketus dia.
Padahal, keterbukaan informasi dan transparansi dalam proses penyusunan perundang-undangan telah diamanahkan di UU Keterbukaan Informasi Publik. "Aturannya sudah ada. Jangan sampai prinsip kehati-hatian dalam penyusunannya ini terabaikan. Idealnya adalah partisipasi publik harus dikedepankan," jelas Trubus.
Lemahnya prinsip kehati-hatian itu juga tercermin saat penyusunan draft UU Kesehatan di waktu lalu, di mana sempat terdapat pasal yang menimbulkan penafsiran yang berbeda dan ambigu, misalnya pasal zat adiktif terkait tembakau.
Trubus melanjutkan ketika pemerintah membuka proses penyusunan aturan turunan kepada publik, setidaknya ada tiga hal fundamental yang bisa diraih yakni komunikasi publik, informasi publik, dan edukasi publik.
Baca juga: Aturan Turunan UU Kesehatan Perlu Pelibatan Partisipasi Publik |
Partisipasi publik dibutuhkan agar efektif
Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Fitriani Ahlan Sjarif menyatakan hal yang sama. Partisipasi publik dibutuhkan agar efektivitas peraturan turunan UU Kesehatan bisa tercapai.
"Kalau secara status hukumnya bagus, bisa tercapai dalam waktu cepat. Perintah UU terpenuhi dan ini perlu dihargai. Tapi, efektivitasnya jadi diragukan karena partisipasi masyarakat belum cukup. Jadi, diragukan diterima publik," ujar dia.
Fitriani menambahkan target penyelesaian aturan turunan UU Kesehatan pada September 2023 akan membuat partisipasi publik secara ideal tidak dapat terpenuhi. "Tapi, setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga sisa waktu yang ada ini bisa terpenuhi partisipasi publiknya," ucap dia.
Terlebih, UU Kesehatan, sebagaimana omnibus law lainnya, memiliki ruang lingkup yang luas. Maka, terdapat tantangan, yaitu PP-nya sebagai aturan turunannya semakin gemuk.
"Jadi sebenarnya seharusnya PP-nya tidak dalam bentuk omnibus karena akan jadi lebih rumit dari UU Kesehatannya itu sendiri. Semakin gendut PP-nya, maka semakin banyak ruang lingkupnya, maka semakin banyak pula stakeholder-nya. Partisipasi publik ini yang seharusnya lebih besar," terang Fitriani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News