"Mencontoh komoditas lain, seperti padi misalnya ada harga dasar yang disusun dari komponen produksi. Bisa gunakan harga dasar mendampingi harga penetapan," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo kepada wartawan di Jakarta, Senin, 29 Agustus 2022.
Ini disampaikan Achmad menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional. Menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, pemerintah melihat industri sawit yang berkelanjutan dan juga menyejahterakan petaninya.
Dalam rapat Komite Pengarah (Komrah) BPDPKS pada Minggu, 28 Agustus 2022, diperoleh keputusan yang menyetujui lima hal, yakni perpanjangan tarif pungutan ekspor (PE) sebesar USD0 untuk semua produk sampai dengan 31 Oktober 2022, penambahan alokasi biodiesel tahun 2022, pembangunan pabrik minyak makan merah (3M), dukungan percepatan peningkatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Baca: Pemerintah Perpanjang Pembebasan Tarif Pungutan Ekspor Sawit hingga 31 Oktober 2022 |
Achmad menilai tidak semua petani menikmati keuntungan dari pungutan ekspor (PE) 0 persen. Sebab, harga sawit masih ditentukan dengan harga penetapan.
"Ada hubungan dengan katakan tarif-tarif ini, tetapi tidak 100 persen karena harga sawit ditentukan harga penetapan," kata dia.
Kenyataanya harga penetapan TBS di tiap daerah berbeda. Namun, jika ada harga dasar artinya ada patokan yang layak bagi petani.
Terkait pemerintah pusat dan daerah, Achmad menyoroti kurangnya sinergi dan implementasi dari Inpres Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Dalam catatannya, dari 25 provinsi yang memiliki tutupan sawit hanya 9 provinsi yang sudah menurunkan menjadi perda.
"Yang aksi nasional lebih integratif, sayangnya di daerah, baru beberapa provinsi saja yang mengikuti lima komponen dalam Inpres tersebut," kata Achmad.
Dia menilai, selama ini sinergi antara pemerintah pusat dan daerah masih rendah. Sehingga, program sawit nasional belum dilaksanakan di daerah karena tak ada sosialisasi sehingga dianggap tak bermanfaat bagi petani.
Pemerintah melalui Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional.
Peremajaan sawit rakyat
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan ada satu dari lima komitmem pemerintah untuk mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional yang harus menjadi perhatian khusus. Yakni percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Program itu diyakini akan mendukung peningkatan kesejahteraan petani sawit sekaligus berkontribusi terhadap perekonomian nasional."Saya kira komitmen yang paling utama harus dikawal untuk mendukung kesejahteraan petani sawit adalah Program Peremajaan Sawit Rakyat. Saya kira komitmen yang paling utama harus dikawal untuk mendukung kesejahteraan petani sawit adalah Program Peremajaan Sawit Rakyat," kata Piter.
Piter menyebut selama ini program tersebut kurang maksimal dan belum mampu diwujudkan pemerintah. Dia berharap program PSR bisa diwujudkan seiring pernyataan komitmen pemerintah dalam mendukung sektor perkebunan kelapa sawit.
"Semoga komitmen yang kali ini benar-benar akan diwujudkan," tegas dia.
Piter menekankan pentingnya mewujudkan kebijakan lain dalam mendukung perekonomian nasional. "Komitmen lain seperti fee ekspor nol rupiah, alokasi biodiesel, juga berpengaruh kepada perekonomian nasional," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id