Menurut Gitadi, pemda memang harus tegas dalam mengambil kebijakan yang bertujuan melindungi kesehatan masyarakat. Akan tetapi, pemda juga harus mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT), termasuk petani dan pekerja dalam membuat kebijakan.
“Menurut saya supaya bisa meng-cover dua ini, sediakanlah tempat untuk mengurangi kerugian perokok pasif. Karena masyarakat kita adalah masyarakat perokok, buatlah kawasan smoking area, sehingga perokok tidak menggunakan tempat umum,” ujar Gitadi kepada wartawan, Jumat, 2 September 2022.
Ia menjelaskan, pemda seharusnya terbuka untuk menerima masukan dalam penyusunan Perda KTR, dan siap berkolaborasi. Sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak bersifat diskriminatif pada salah satu pihak. Lebih penting daripada itu adalah kebijakan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan baik.
“Bahkan kalau pabrik rokok dimintai kesediaan untuk membuat smoking area, mungkin mereka tak akan menolak. Jadi, memang harus ada kompromi dan solusi di lingkungan internal. Jangan sampai seperti terkesan menutup mata pada industri rokok yang menghidupi orang banyak. Harus ada win-win solution,” katanya.
Selain itu, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) juga bisa menjadi solusi untuk pembuatan tempat merokok sehingga asapnya tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok. Gitadi juga menanggapi banyaknya pemda yang melakukan perubahan atas perda KTR yang telah berlaku.
“Masalahnya sekarang adalah implementasi. Tak perlu ada perda baru. Yang lama bisa dipakai sepanjang implementasinya punya konsep jelas. Pelanggaran sanksinya jelas. Tapi yang saya lihat dari dulu sampai sekarang tidak ada komunikasi dan eksekusi yang jelas,” ujar dia.
Baca juga: Kesejahteraan Pelinting Rokok Terancam Kenaikan Cukai SKT |
Ia menyarankan agar pemda tidak terburu-buru dalam memberlakukan regulasi yang berkaitan langsung dengan masyarakat, termasuk perda KTR. Gitadi menjelaskan, peraturan yang langsung dieksekusi tanpa sosialisasi tidak akan berjalan dengan efektif, terlebih tanpa keterlibatan pihak terkait.
“Jika peraturan langsung dieksekusi, tak akan efektif. Apalagi kalau masih sama dengan perda sebelumnya. Solusinya sederhana, misal sosialisasi jangan terburu-buru. Dari 2020 sampai 2023 ada sosialisasi. Tak cuma larangan yang cuma ditempel dengan dalih melanggar perda,” ucap dosen FISIP Unair ini.
Gitadi menyampaikan, negara memang perlu berpihak pada derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi, pertembakauan di Indonesia memiliki kepentingan yang luas sehingga regulasi yang berkaitan dengan tembakau harus menciptakan win-win solution antara semua pihak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News