"Bagi Indonesia, kondisi potensi resesi pada negara maju dipandang akan sangat berbeda," kata Associate Director of Research and Investment Maximilianus Nico Demus, Selasa, 26 Juli 2022.
Ia menjelaskan, windfall kenaikan komoditas relatif menguntungkan Indonesia dibandingkan dengan dampak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap harga BBM dan subsidi energi.
"Setidaknya hal ini juga dapat diindikasikan dengan dual deficit, yakni fiscal deficit dan trade balance deficit yang selama ini menjadi perhatian investor global dalam memandang peringkat utang Indonesia, tidak berlaku hingga kali ini," ungkapnya.
Hingga Mei, ia merinci, APBN tercatat surplus Rp132,2 triliun atau setara dengan 0,74 persen dari PDB. Selain itu, jumlah pembiayaan anggaran hanya Rp83,3 triliun atau hanya sekitar 10 persen dari target APBN 2022.
Baca: Kemenkeu: Reformasi Pajak untuk Perbaiki Administrasi dan SDM |
Di sisi lain, surplus neraca dagang Indonesia hingga Mei sudah mencapai 25 bulan berturut-turut. Hal ini yang tentunya akan mendorong ketahanan cadangan devisa ataupun rupiah akan cenderung lebih stabil. Pada saat yang sama, reformasi struktural terus dikembangkan pemerintah menjadi katalis positif bagi perekonomian dalam negeri kedepannya.
"Saat ini, pemerintah kita fokus pada pengembangan industri dan program hilirisasi pada komoditas mineral seperti nikel, timah, dan bauksit. Hal ini telah tercermin dari rencana larangan ekspor mineral tersebut dalam bentuk bijih sebagaimana posisi kita sebagai produsen utama mineral global," jelasnya.
Tak hanya itu, pengembangan ekosistem Electric Vehicle (EV) dengan berbagai proyek yang sedang dibangun di dalam negeri saat ini berpotensi mendatangkan investor pada sektor riil, membangun ekonomi daerah terutama di timur Indonesia yang memiliki sumber daya alam tambang mineral dengan cadangan yang melimpah dan lebih banyak menyerap tenaga kerja.
"Di samping windfall komoditas, program hilirisasi komoditas mineral yang menggandeng investasi asing ke sektor riil turut berkontribusi terhadap depresiasi nilai tukar rupiah yang cenderung lebih rendah dari negara lain," ujarnya.
Indonesia diselimuti krisis pangan
Meski demikian, ia menambahkan, Indonesia masih diselimuti beberapa kekhawatiran seperti ketahanan pangan, currency risk imbas capital outflow, serta penurunan permintaan komoditas dengan potensi risiko resesi di negara maju.
Ketahanan pangan menjadi perhatian pemerintah sebagai risiko ketegangan geopolitik sebab berimbas pada aksi tren proteksionisme sejumlah negara terhadap komoditas unggulannya.
Indonesia, juga terpaksa melakukan tren proteksionisme untuk mengamankan pasokan dalam negerinya seiring dengan pengetatan pasokan pangan global yang juga mengangkat inflasi pangan global.
"Jika kita perhatikan negara kita sebagai produsen utama CPO dunia melarang ekspor CPO meskipun sekarang sudah dibuka kembali kerannya, kemudian India membatasi ekspor gula, yang merupakan produsen gula utama dunia setelah Brasil. Demikian halnya pembatasan kuota ekspor biji-bijian di Serbia dan Kazakhstan serta gandum dan jagung dari Ukraina imbas perang dengan blokade perairan Ukraina," tuturnya.
Menurutnya, profil Indonesia sebagai pengimpor sejumlah pangan akhirnya dihadapkan tantangan sisi suplai pangan. Secara jangka pendek, pasokan pangan memang masih aman, namun ketahanan pangan berada diujung tanduk apabila aksi proteksionisme berlanjut hingga tahun depan.
"Termasuk risikonya pun dapat dirasakan terhadap pertumbuhan industri makanan di dalam negeri yang ikut berkontribusi terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
Ketahanan pangan menjadi perhatian pemerintah sebagai risiko ketegangan geopolitik sebab berimbas pada aksi tren proteksionisme sejumlah negara terhadap komoditas unggulannya.
Indonesia, juga terpaksa melakukan tren proteksionisme untuk mengamankan pasokan dalam negerinya seiring dengan pengetatan pasokan pangan global yang juga mengangkat inflasi pangan global.
"Jika kita perhatikan negara kita sebagai produsen utama CPO dunia melarang ekspor CPO meskipun sekarang sudah dibuka kembali kerannya, kemudian India membatasi ekspor gula, yang merupakan produsen gula utama dunia setelah Brasil. Demikian halnya pembatasan kuota ekspor biji-bijian di Serbia dan Kazakhstan serta gandum dan jagung dari Ukraina imbas perang dengan blokade perairan Ukraina," tuturnya.
Menurutnya, profil Indonesia sebagai pengimpor sejumlah pangan akhirnya dihadapkan tantangan sisi suplai pangan. Secara jangka pendek, pasokan pangan memang masih aman, namun ketahanan pangan berada diujung tanduk apabila aksi proteksionisme berlanjut hingga tahun depan.
"Termasuk risikonya pun dapat dirasakan terhadap pertumbuhan industri makanan di dalam negeri yang ikut berkontribusi terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News