Besarnya kekhawatiran pihak terdampak disoroti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ikut menyayangkan kemunculan aturan ini karena dinilai sangat diskriminatif terhadap produk tembakau dan keberlangsungan mata rantainya. Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta permasalahan ini perlu diselisik keseimbangannya.
“Karena faktanya, tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang sangat digantungkan oleh jutaan orang mulai dari buruh pekerja, petani tembakau, dan peritel beserta keluarganya,” kata dia dalam diskusi dilansir, Sabtu, 14 September 2024.
Rahmad juga menyoroti dampak negatif yang akan menghimpit industri hasil tembakau (IHT) secara keseluruhan dari hulu hingga ke hilir dan berimplikasi kepada masyarakat secara luas. Hal ini semakin mengkhawatirkan, apalagi di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor industri.
“Kita harus balance dalam membuat kebijakan. Pengendalian itu harus, tapi jangan menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif yang baru,” ujarnya.
Selain itu, Rahmad menyoroti banyaknya kebijakan yang telah dirasakan oleh sektor pertembakauan seperti kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) eksesif yang telah mendorong penyebaran rokok ilegal. RPMK yang memaksa kemasan rokok polos tanpa merek diyakini kian memperparah kondisi sebelumnya.
“Terkait dengan pihak yang harus dilindungi, saya mengajak semua pihak untuk menyelesaikan dengan duduk bersama. Karena prevalensi perokok itu bisa ditekan, yang penting kan prevalensinya menurun. Ketika banyak penolakan, ini pun banyak yang setuju. Jalan keluarnya adalah titik temu, jadi silakan berembuk dan mencari solusinya bersama,” ungkap dia.
Baca juga: Tolak Kemasan Rokok Polos, Petani Tembakau Sampaikan Surat ke Wamentan |
Ancaman PHK
Dari sisi ketenagakerjaan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menekankan, aturan Kemenkes ini jelas merugikan berbagai sektor karena cenderung mengabaikan fakta bahwa tembakau masih menjadi sumber penghidupan banyak orang. Dia menilai, usulan Kemenkes dalam bentuk RPMK ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.“Ini akan berdampak kepada PHK massal dan akan berdampak ke perekonomian, termasuk UMKM. Ini yang seharusnya diatur sebaik mungkin,” jelasnya.
Daniel menjelaskan selama ini industri tembakau telah menyumbang pendapatan yang besar melalui cukai sehingga penurunan produksi rokok jelas akan mengurangi penerimaan negara. Maka apabila peraturan ini dijalankan, target penerimaan cukai negara tidak akan tercapai dan terancam defisit.
“Aturan ini dianggap terlalu mengekang kebebasan berekspresi dalam konteks ekspresi untuk industri tembakau, padahal toh bisa disesuaikan dan juga ada lembaga sensor yang sudah menjalankan aturannya. Yang perlu kita dorong adalah aturan yang memajukan industri kreatif sebagai medium suatu ekspresi, bukan malah menekannya,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News