Ilustrasi Medcom.id.
Ilustrasi Medcom.id.

Aturan Ketat Sektor Pertembakauan Bisa Jadi Beban Tambahan Pemerintahan Baru

Eko Nordiansyah • 16 Oktober 2024 18:48
Jakarta: Keputusan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP 28/2024) dinilai cacat hukum. Pasalnya FCTC tidak diakui dan diratifikasi oleh Indonesia. 
 
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahadiansyah mengatakan, dampak aturan ini akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru. Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, termasuk PP 28/2024 yang melenceng jauh dari Undang-Undang (UU) Kesehatan.
 
“Banyak aturan yang bertentangan dengan UU Kesehatannya sendiri. Padahal, PP-nya itu seharusnya tidak boleh keluar dan melebihi dari mandat UU Kesehatan, mestinya hanya bisa menerjemahkannya menjadi aturan teknis. Selain itu, aturan turunan tersebut tidak boleh menambah klausul dan norma baru,” kata dia kepada wartawan, Rabu, 16 Oktober 2024.

Dalam hal ini, Trubus menyebut, kebijakan ini tidak tepat untuk dijalankan pada industri tembakau yang berkontribusi besar terhadap serapan tenaga kerja dan perekonomian Indonesia. Ia menyarankan agar pemerintahan baru memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan tenaga kerja di Indonesia terutama di tengah terjadinya deflasi beruntun.
 
“Seharusnya, pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau. Industri ini perlu didukung untuk menyerap tenaga kerja yang besar guna menekan angka deflasi. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah, khususnya pemerintahan baru,” tegasnya.
 
Baca juga: Tolak Aturan Kemasan Rokok Polos, Petani Tembakau Kirim Petisi Buat Pemerintah

Banjir regulasi

Saat ini, industri tembakau telah dibebani oleh lebih dari 480 aturan yang mencakup aturan fiskal dan nonfiskal. Banyak diantara aturan tersebut yang tidak memiliki pengawasan yang jelas atau implementasi yang mumpuni. Hal ini menyebabkan industri tembakau legal semakin tertekan dan justru membuat peredaran rokok ilegal semakin meningkat.
 
Senada, Ahli Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, mengungkapkan, alasan besar Indonesia tidak meratifikasi FCTC karena merupakan salah satu negara produsen tembakau yang terbesar dan banyak rantai pasok industri domestik yang terdampak. Mengutip teori dalam buku Nicotine War, Ali menyatakan regulasi yang restriktif terhadap industri tembakau merupakan salah satu intervensi lembaga anti tembakau asing.
 
“Ini berpotensi merugikan banyak sektor yang terkait dengan industri tembakau di dalam negeri. Haram hukumnya FCTC menjadi rujukan. Aturan (PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes) yang dibuat jelas kontradiktif (terhadap UU Kesehatan) dan mengacu pada FCTC. Ini merupakan pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Ali.
 
Maka dari itu, Ali menegaskan apabila PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes ini tidak dikaji ulang, maka akan berdampak signifikan terhadap banyak hal. Termasuk dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar delapan persen yang digagas oleh pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
 
“Setiap Presiden punya kepentingan ketatanegaraannya sendiri-sendiri, sesuai dengan program prioritasnya. Jadi saya berharap pemerintahan baru dapat mengakomodir dan berpihak ke industri tembakau,” ungkapnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan