Dian menjelaskan bahwa beban utang Sritex ini terbagi menjadi utang sebesar Rp 14,42 triliun ke 27 bank dan Rp 220 miliar ke tiga perusahaan pembiayaan (multifinance).
"Exposure debitor per September 2024 itu tercatat pada 27 bank dan 3 multifinance dengan total outstanding mencapai Rp 14,64 triliun. Jadi masing-masing Rp 14,42 triliun pada bank dan Rp 0,22 triliun pada perusahaan pembiayaan," ungkap Dian.
Baca juga: Krisis Industri Tekstil-Sritex: Mengurai Masalah dan Langkah Strategis Jangka Panjang
Dian juga menjelaskan bahwa perbankan telah membentuk cadangan agregat untuk menutupi potensi kerugian dari utang Sritex, dengan persentase cadangan sebesar 83,34% di bank dan 63,95% di perusahaan pembiayaan. "Ini saya kira sudah cukup memadai untuk membackup potensi kerugian kepada bank," lanjutnya.
Menanggapi status pailit Sritex, Dian menyatakan bahwa perbankan telah mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi dan mekanisme kehati-hatian dalam menghadapi situasi kemacetan kredit seperti ini. "Bank punya mekanisme yang sudah mapan... Karena kemacetan dalam dunia bisnis itu dari waktu ke waktu memang sering terjadi," jelasnya.
Saat ini, Sritex tengah melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung setelah diputuskan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang atas gugatan dari PT Indo Bharat (IBR). Dian menegaskan bahwa proses hukum ini akan diawasi OJK sesuai regulasi yang berlaku.
"Kita juga sama-sama mengetahui bahwa debitur masih sedang melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung," tutupnya.
Kasus pailit Sritex ini menjadi sorotan besar dalam industri perbankan dan pembiayaan di Indonesia, mengingat besarnya eksposur utang perusahaan tekstil yang pernah menjadi salah satu pemain utama di pasar global ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News