Fithra menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama adalah efisiensi produksi yang rendah dibandingkan negara-negara pesaing, seperti Vietnam dan Malaysia.
“Banyak industri tekstil kita ibaratnya mengalami 'long COVID', tidak bisa pulih dengan cepat, sementara yang lain sudah bangkit,” ujar Fithra yang juga Penasihat Ekonomi di PT Samuel Sekuritas Indonesia, Jumat 1 November 2024.
Kondisi ini diperburuk oleh berbagai hambatan yang membuat biaya produksi dalam negeri melambung, terutama akibat akses yang terbatas terhadap bahan baku murah, tingginya biaya tenaga kerja, dan ketergantungan pada produk impor.
Secara global, industri tekstil berada dalam tekanan akibat perubahan jaringan produksi. Negara-negara besar seperti China, yang sebelumnya memonopoli pasar, kini mulai berkolaborasi dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam untuk memperluas akses bahan baku dan menjaga efisiensi produksi.
Vietnam, kata Fithra, lebih unggul dalam akses bahan baku karena mereka mengizinkan impor yang ditujukan untuk ekspor dengan lebih fleksibel, suatu kebijakan yang belum diadopsi sepenuhnya di Indonesia. Indonesia, di sisi lain, masih terbatas dengan kebijakan impor yang restriktif.
“Peraturan yang membatasi impor ini justru menghambat akses terhadap input produksi murah, sehingga harga produk tekstil kita kalah saing,” tutur Fithra.
Menurutnya, kebijakan yang terlalu protektif ini malah membuat industri tekstil semakin tidak kompetitif di pasar internasional, terutama dalam jaringan produksi global.
“Jika kita terus menutup diri, industri tekstil akan semakin sulit beradaptasi di tengah persaingan global,” tambahnya.
Selain masalah regulasi impor, persoalan lain adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja. Upah tenaga kerja Indonesia yang lebih tinggi dari Vietnam, misalnya, tidak sebanding dengan produktivitasnya, yang membuat biaya produksi menjadi tidak kompetitif.
Di samping itu, krisis global yang mendorong oversupply produk dari China juga memperburuk kondisi. China yang saat ini mengalami pengurangan akses ke pasar Amerika Serikat dan Eropa mengalihkan surplus produksinya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini menambah tekanan bagi industri tekstil nasional yang berjuang mempertahankan pangsa pasar domestik.
Fithra menyoroti bahwa pemerintah perlu mengutamakan strategi restrukturisasi utang sebagai langkah jangka pendek, tetapi langkah jangka panjang harus difokuskan pada efisiensi industri dan reformasi kebijakan impor.
“Pendekatan restrukturisasi utang saja tidak cukup, perlu reformasi struktural yang menyeluruh agar industri tekstil dapat bersaing secara global,” ujarnya.
Menurutnya, membuka akses bahan baku melalui kebijakan impor yang lebih fleksibel akan membantu menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing produk tekstil Indonesia di pasar internasional. Dengan kombinasi reformasi kebijakan, peningkatan efisiensi, dan dukungan dari pemerintah, industri tekstil Indonesia diharapkan dapat bangkit kembali dan bersaing di pasar global.
"Selama reformasi struktural tidak dilakukan, industri tekstil akan terus menghadapi tantangan yang sama dan kembali ke krisis di masa depan,” tutup Fithra.
Baca juga: Sritex Dinyatakan Pailit, Ketahui Ini Perbedaan Pailit dan Bangkrut dalam Bisnis
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News