Diketahui, penerimaan cukai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan tiga objek, yaitu produk hasil tembakau, minuman etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol. Oleh karena itu, lanjutnya, multi stakeholders harus didorong dalam mengonsolidasikan kekuatan bersama untuk kepentingan negara yang sangat fundamental.
"Yaitu penerimaan negara yang sangat besar," ujar Misbakhun, dilansir dari laman resmi DPR RI, Senin, 24 Oktober 2022.
Pemerintah, tambahnya, juga perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia, seperti sisi tenaga kerja, penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT), kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.
Baca: Wamenkeu: Penting untuk Indonesia Temukan Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru! |
Dalam tiga tahun terakhir, cukai hasil tembakau terus mengalami kenaikan. Pada 2020 naik sebesar 23 persen, di 2021 naik sebesar 12 persen, dan pada 2022 sebesar 12 persen. Karena itu, berbagai kebijakan terhadap cukai perlu kehati-hatian, salah satu dampaknya akan mendorong meningkatnya rokok ilegal.
"Hal tersebut perlu diwaspadai karena merujuk dokumen UU APBN 2023 pemerintah akan menaikan cukai sebesar Rp245,4 triliun," jelasnya.
Ia mendesak para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan ekosistem tembakau yang punya peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan simplifikasi tarif cukai.
"Seluruh agenda global tersebut harus disadari secara esensial sebagai bentuk intervensi atas kedaulatan negara. Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan bersama untuk melindungi kepentingan nasional," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News