Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Doktoral London School of Economic, Yorga Permana, memaparkan lingkungan pekerjaan yang buruk dan penghasilan yang tidak menentu kerja menjadi alasan terbesar mereka.
Ia melakukan survei kepada 1.000 orang kurir dan pengemudi ojek online di Jabodetabek sepanjang 2021-2022. Selain itu, ia juga melakukan wawancara mendalam kepada sebagian responden. Penelitiannya juga menunjukkan hanya lima persen pengemudi ojek online yang sebelumnya bekerja sebagai driver ojek konvensional. Sedangkan 49 persen merupakan karyawan kantoran, dan selebihnya adalah pelajar, pengangguran, atau mereka yang sebelumnya bekerja di sektor informal lain.
"Artinya aplikasi ojek online gagal mentransformasi pengemudi ojek konvensional. Sebab, nyatanya pengemudi ojek online adalah orang-orang yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap di kantor," ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Februari 2023.
Yorga yang merupakan peneliti Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) mengatakan, beragam kasus kecelakaan yang dialami pengemudi ojol karena mereka diduga kelelahan, harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk memperketat regulasi dan operator mengevaluasi model bisnis ojek online.
Di sisi lain, agenda penciptaan lapangan kerja di sektor formal harus menjadi prioritas. Sehingga menjadi pengemudi ojol bukan satu-satunya pilihan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah. Banyak pengemudi ojek online yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena iming-iming penghasilan tambahan yang menarik. Namun sebagian besar kini menyesal. Sebab, penghasilan mereka kini terjun bebas.
Baca juga: Pakai Bahan Bakar Ini, Ojol hingga Sopir Truk Bisa Hemat Jutaan Rupiah |
Menurut penelitiannya, ada tiga faktor yang membuat para pengemudi ojek online ini ingin meninggalkan pekerjaannya.
Penghasilan merosot
Pertama, penghasilan para driver sudah merosot, bahkan sebelum pandemi covid-19. Skema bonus harian yang ditawarkan aplikasi tidak lagi seatraktif di awal kehadirannya. Demi mencapai pertumbuhan secepat mungkin, di fase awal perusahaan platform membakar uang untuk merekrut pengemudi."Namun, saat aplikasi sudah tumbuh semakin besar, skema bonus perlahan dikurangi dan dipersulit sehingga hanya sedikit pekerja yang bisa mendapatkannya," ungkap Yorga yang merupakan dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung tersebut.
Makin banyak pengemudi
Kedua, semakin banyaknya pengemudi yang bergabung ke dalam aplikasi. Sehingga pengemudi merasa bersaing satu sama lain. Oleh karena itu, banyak pengemudi yang bekerja tanpa kenal waktu agar mendapatkan penghasilan yang besar."Mereka rata-rata bekerja 54 jam per minggu. Sebagai perbandingan, di Inggris hanya delapan persen pekerja berbasis aplikasi yang bekerja lebih dari 35 jam per pekan," katanya.
Banyaknya pengemudi ini juga membuat daya tawar mereka rendah. "Bagaimana mau protes secara kolektif jika sesama pengemudi merasa bersaing karena rekrutmen terus menerus dilakukan," tambah Yorga.
Baca juga: Riset: Transportasi dan Logistik Online Tangguh di Tengah Gejolak Ekonomi |
Munculnya pandemi
Faktor ketiga adalah munculnya pandemi. Sektor transportasi adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat pembatasan sosial. Meski mereka cukup tertolong dengan meningkatnya pesanan makanan antar dan pengantaran barang, namun tetap saja penghasilan menurun."Sebanyak 90 persen pengemudi online mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan selama pandemi. Mereka mengatakan dalam satu hari hanya mendapatkan satu atau dua pekerjaan walaupun aplikasinya terus menyala sepanjang waktu," ucapnya.
Penelitian ini juga mengukur tingkat kebahagiaan dan tingkat kecemasan mereka dari skala 0-10. Diperoleh nilai rata-rata kebahagiaan pengemudi ojol adalah 6,0 dan rata-rata kecemasan mereka 6,4.
"Saya bandingkan dengan studi dari Universitas Oxford dan Uber kepada 1.000 orang pengemudi Uber di London dengan cara pengukuran yang sama. Rata-rata tingkat kebahagiaan mereka 7,5 dan kecemasan mereka 4,0. Artinya di masa pandemi ini, pengemudi ojol di Jakarta lebih banyak cemasnya daripada bahagianya," tambah Yorga yang juga tergabung dalam LSE-Southeast Asia Early Career Researcher Network, atau jaringan global para peneliti muda di bawah Pusat Studi Asia Tenggara LSE.
Meski lebih memilih untuk berhenti mengemudi, namun mereka mengaku sulit keluar. Sebab, terbatasnya pilihan pekerjaan. Sementara mayoritas pengemudi tidak memiliki sumber pendapatan lain.
Solusi bagi para kurir dan ojol
Oleh sebab itu, Yorga mendesak pemerintah menyusun regulasi formal hubungan kerja antara perusahaan platform dan para pengemudi ojek online."Tanpa adanya payung hukum yang jelas, perusahaan bisa seenaknya memperlakukan pengemudi dan bersembunyi di balik ilusi 'kemitraan'," pungkas Yorga.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News