Ilustrasi. Foto: AFP/Hussein Faleh.
Ilustrasi. Foto: AFP/Hussein Faleh.

Risiko Geopolitik hingga Rupiah Ambruk, Program HGBT Diminta Disetop

Husen Miftahudin • 22 April 2024 11:08
Jakarta: Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan anggaran negara terkait potensi pelemahan ekonomi akibat konflik di Timur Tengah. Apalagi dalam waktu bersamaan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus melemah.
 
Terbaru, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan pemerintah akan menaikkan impor BBM menjadi 850 ribu barel per day akibat penurunan produksi migas nasional.
 
Beberapa kebijakan yang dinilai menjadi beban pemerintah adalah program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
 
"Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs rupiah," ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 22 April 2024.
 
Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurut Bhima, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar. "Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar," tegas dia.
 
Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi covid-19 dijalankan yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya.
 
"Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18 persen dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal," kata Bhima menjelaskan.
 
Pertimbangan ketiga yaitu dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerjanya. "Tidak banyak berubah dibanding pra-pandemi," imbuh dia.
 
Maka Bhima menyatakan bahwa program HGBT tidak memiliki multiplier efek yang luas. Adapun upaya mendorong optimalisasi pasokan gas domestik adalah disarankan untuk menciptakan sistem yang lebih efisien. Mulai dari memangkas banyaknya rantai pasok termasuk trader hingga optimalisasi infrastruktur.
 
"Artinya, untuk mencapai harga gas domestik murah untuk industri bukan dengan cara insentif seperti sekarang," terang Bhima.
 
Baca juga: SKK Migas Sindir Tingginya Tanggungan Pemerintah di HGBT Listrik
 

Tetap prioritaskan subsidi energi

 
Sementara itu, berkaitan dengan subsidi energi, saat ini sebaiknya tetap diprioritaskan terhadap yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat untuk menjaga daya beli dan perekonomian secara umum. Terutama BBM dan listrik serta LPG 3 kg.
 
Terhadap subsidi prioritas seperti BBM ini pun, menurut Bhima, masih berpotensi terjadi kenaikan jika beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dirasa akan semakin memberatkan.
 
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah saat ini telah menyentuh Rp16 ribu per USD dan dampak meningkatnya tensi geopolitik diperkirakan akan meningkatkan pula harga komoditas energi seperti minyak.
 
Menteri ESDM Arifin Tasrif akhir pekan kemarin mengumumkan potensi defisit tinggi akibat impor minyak masih terlihat. Sebab Indonesia memproduksi sebanyak 600 ribu barel per hari sedangkan impornya mencapai 840 ribu barel per hari dengan rincian sebanyak 600 ribu barel dalam bentuk BBM dan 240 ribu barel adalah minyak mentah.
 
"Impor bersumber dari beberapa negara seperti Arab Saudi, Nigeria, dan beberapa lainnya. Karena mungkin (dari beberapa negara) itu yang paling kompetitif dalam menawarkan harga BBM-nya," ucap Arifin.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan