Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho memaparkan kalkulasi dari tiga skenario kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan dalam radius 200 meter, dan larangan iklan, dapat mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan turun Rp160,6 triliun.
“Rokok ilegal gampang tiru, tinggal font-nya diubah-ubah. Saya kalau misalnya jadi pelaku industri yang ilegal begini, saya tinggal buat merek yang disejajarkan dengan aslinya, bedanya apa sekarang? Sedangkan penerimaan negara bisa loss juga di sana,” kata dia dilansir, Jumat, 27 September 2024.
Selain itu, Andry menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih rancu. Pembatasan penjualan di tempat bermain anak juga dinilai tidak masuk akal jika diimplementasikan dan justru menimbulkan ketidakpastian usaha karena pungutan liar di lapangan.
“Ini yang perlu diluruskan kembali, mau diletakkan di satuan pendidikan mana? Karena masih belum jelas. Dampaknya ya memunculkan rokok ilegal yang akan masuk dan mudah dibeli ketengan,” ungkapnya.
Andry juga menjelaskan dampak aturan yang diberlakukan pada masa Pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia mengingatkan potensi kehilangan negara yang terjadi dapat mencapai lebih dari Rp200 triliun, terutama dari hilangnya penerimaan cukai hasil tembakau sehingga menghambat target pertumbuhan ekonomi delapan persen.
“Rp308 triliun itu dampak ekonomi secara general, kalau Rp160 triliun itu dari penerimaan cukai hasil tembakau saja. Sebaiknya ini diajak berunding dulu, karena jangankan asosiasi, kementerian lain saja nggak diajak (berdiskusi bersama Kemenkes). Kita ini negara hukum, ya semestinya harus sesuai dengan hukumnya,” tegasnya.
Baca juga: Cukai Rokok 2025 Tidak Naik, Langkah Pemerintah Diapresiasi |
Regulasi mencekik
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menjelaskan, rokok ilegal merupakan ekses dari berbagai regulasi yang mencekik. Sekarang, ditambah adanya PP 28/2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes, maka negara harus siap kehilangan triliunan rupiah.“Untuk masalah kesehatan, kami sepakat kami tidak mau Indonesia tidak sehat. Tapi, untuk perumusan regulasi ini tidak bisa hanya kesehatan saja yang menjadi pembahasan. PP 28/2024 harus di-review ulang, dan Rancangan Permenkes dihentikan saja. Karena masih banyak kementerian, terutama Kementerian Perindustrian belum diundang,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan, semestinya permasalahan ekonomi dengan kesehatan dipisahkan. Roy mengaku sebelum adanya aturan ini, peritel juga masih harus menghadapi maraknya rokok ilegal yang merugikan banyak pihak.
“(Aturan Kemenkes) Ini akan menurunkan Rp48 triliun omzet. Lalu bagaimana cara menghitung jaraknya (larangan zonasi 200 meter)? Ini juga akan memunculkan oknum yang akan mendatangi toko dan memeras pelaku usaha, ini sudah terjadi,” katanya.
Selain itu, Aprindo mewakili pedagang tradisional yang dikenakan aturan zonasi penjualan menyatakan perlu adanya mitigasi dari pemerintah. Roy juga menyesalkan aturan dengan dampak sebesar ini, justru tidak melibatkan banyak pihak yang akan merasakan imbasnya.
“Kami mengingatkan bahwa sebuah aturan harus ada mitigasi kontijensinya. Kami juga memikirkan untuk melakukan judicial review karena ini sangat memukul ekonomi, tidak boleh 200 meter, tidak ada sosialisasi, hanya boleh kemasan rokok polos tanpa merek. Jalan terbaiknya memang harus berunding dan diajak duduk bersama,” ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id