"Salah satu cara mendorong produktivitas pertanian secara berkelanjutan adalah dengan mengedepankan pengelolaan input pertanian secara efisien dan optimal sesuai kebutuhan dan tepat guna. Subsidi pertanian justru tidak mendukung hal tersebut dan mendorong pemupukan dan intensifikasi secara berlebihan," jelasnya dikutip dari siaran pers, Senin, 17 Oktober 2022.
Penelitian CIPS menyebut, input pertanian, seperti pupuk, benih, pestisida, dan irigasi, berkontribusi 16 sampai 26 persen pada biaya per hektare per musim tanam yang dikeluarkan petani untuk beberapa tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai.
Beberapa temuan dan pengalaman menunjukkan, saat dihadapkan pada kelangkaan atau keterlambatan pupuk subsidi, petani kecil cenderung mengurangi penggunaan pupuk daripada membeli pupuk non-subsidi atau memilih mengolah kompos sendiri sebagai pengganti pupuk kimia.
Petani masih melihat unsur biaya lebih penting daripada manfaat pemupukan optimal. Hal tersebut berpengaruh pada produktivitas dan berpengaruh pada ketahanan pangan dalam lingkup yang lebih luas.
Meskipun tidak sebesar komponen biaya tenaga kerja yang berkontribusi sekitar 47 sampai 60 persen, biaya variabel input merefleksikan persepsi petani tentang biaya dan manfaat dari peningkatan produktivitas.
Untuk beberapa jenis input, petani bisa bergantung pada alam, seperti tadah hujan untuk memenuhi kebutuhan air atau menggunakan benih dari musim tanam sebelumnya. Namun praktik-praktik ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas.
Baca juga: Tolong! 72.249 Petani Tak Dapat Jatah Pupuk Bersubsidi Gegara Belum Punya Ini |
Karena itulah, kata Aditya, sudah sebaiknya petani juga memahami dan berinvestasi pada manajemen input pertanian berkualitas untuk mendukung pekerjaannya.
Subsidi input, terutama pupuk, juga memunculkan masalah lain. Pertama, disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi memunculkan pasar sekunder di mana penerima pupuk bersubsidi maupun aktor lain di sepanjang rantai distribusi menjual kembali jatah pupuknya. Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi juga memunculkan perburuan rente di sepanjang rantai distribusi pupuk.
Subsidi dan bantuan pemerintah juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan hal tersebut terlihat dari besaran jumlah anggaran. Antara 2003-2020, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp319,77 triliun untuk subsidi pupuk dan benih. Jumlah tersebut belum termasuk program bantuan lainnya, seperti rehabilitasi jaringan irigasi.
Nilai subsidi juga cenderung fluktuatif setiap tahunnya, yang menunjukkan nilai subsidi cenderung dipengaruhi ketersediaan anggaran dan bukan kebutuhan petani dan kaitannya dengan produktivitas.
Pertumbuhan subsidi dari tahun ke tahun terkadang meningkat tajam, misalnya, subsidi pupuk sebesar 142 persen (yoy) pada 2008 dan subsidi benih sebesar 587 persen pada 2013 (yoy). Tetapi pertumbuhan output pada beras, jagung, dan kacang kedelai relatif stagnan, menunjukkan kurangnya korelasi dengan produktivitas lahan.
Penelitian CIPS merekomendasikan penargetan secara akurat kepada petani penerima subsidi, terutama mereka yang sangat tergantung kepada bantuan dan tidak memiliki akses untuk membeli input pertanian sendiri.
"Harus dibedakan antara penggunaan input tidak optimal karena harga atau keterbatasan pengetahuan. Untuk kelompok terakhir, termasuk petani dengan penggunaan pupuk tidak seimbang atau overdosis, peningkatan penyuluhan pertanian lebih dibutuhkan dibanding bantuan," kata Aditya.
Program penyediaan input pertanian seperti subsidi pupuk dan bantuan benih juga memerlukan perencanaan dan indikator-indikator untuk menunjukkan sejauh mana kebijakan ini sudah berhasil mengatasi kegagalan pasar. Indikator-indikator ini misalnya dapat terdiri dari persentase pemakaian pupuk, persentase penggunaan benih varietas unggul, serta rata-rata harga pupuk di pasaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News