Wakil Ketua DPI dan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto mengatakan, pihaknya telah menaati peraturan mengiklankan produk turunan tembakau. Sehingga ia menilai pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau akan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
"Kita ingin mendiskusikan hal ini karena serapan tenaga kerja di (industri) periklanan kan banyak yang berhubungan secara langsung dengan produksi iklan dan penayangan iklan. Di industri periklanan itu ada sekitar 725 ribu tenaga kerja," kata Janoe kepada wartawan dilansir di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2024.
Padahal, Janoe mengungkapkan, rokok merupakan produk legal yang dapat dipasarkan melalui iklan. Maka, rencana pengetatan iklan rokok akan mempengaruhi kinerja industri periklanan. Padahal dalam setahun, rata-rata industri periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9 triliun hingga Rp10 triliun yang didominasi oleh industri rokok.
"Peraturan ini akan memberikan multiplier effect dan yang terdampak langsung adalah pihak produksi yang memproduksi berbagai konten, iklan TV, atau iklan lainnya. Itu juga terdampak ya. Jadi, sebenarnya banyak sektor-sektor lainnya yang akan terdampak juga, seperti sektor pemasaran dan lainnya," ujar dia.
Baca juga: Pajak Rokok Naik, Ekosistem Tembakau Minta Tak Ada Kenaikan Cukai Tahun Depan |
Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Emil Mahyudin menilai, pelarangan total sponsorship dari produk tembakau pada kegiatan konser dan festival musik akan berdampak signifikan. Karena sebagian besar kegiatan pertunjukan tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja tapi mengandalkan pemasukan sponsor.
"Di Indonesia banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri rokok. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh covid-19 dan baru mau pulih kembali," kata Emil.
Emil menyatakan APMI juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pelibatan industri kreatif dalam pembahasan aturan tembakau di RPP Kesehatan. Namun hingga sekarang, pihaknya masih belum diajak untuk berdiskusi terkait aturan yang dinilai akan mempersulit keberlangsungan industri kreatif.
"Pelarangan-pelarangan bagi produk tembakau yang sekarang sedang digagas di RPP Kesehatan yang mungkin mengacu kepada negara lain itu sebetulnya tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di Indonesia," tegasnya.
Sementara Ketua Umum Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano mengatakan, pelarangan iklan produk tembakau di media online akan sangat merugikan. Selain karena banyaknya tenaga kerja di industri media online yang mengalami layoff, pendapatan industri ini juga diprediksi turun Rp200 miliar sampai Rp250 miliar per tahun.
"Jadi, kalau itu terjadi, kita akan kehilangan revenue sebanyak itu. Dampak terhadap bisnisnya pun akan luar biasa. Saya rasa kurang bijak kalau rencana pelarangan itu diterbitkan. Jadi, tidak perlu ada peraturan produk rokok yang baru. Tinggal ditingkatkan saja pengawasannya dari aturan yang sudah berlaku," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News