"P3M meminta Menteri Kesehatan agar mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP Kesehatan yang ada, karena selain bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, UU Perkebunan, dan putusan Mahkamah Konstitusi, juga berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan," kata dia saat dihubungi, Rabu, 10 Juli 2024.
Ia berpendapat, pasal-pasal terkait produk industri hasil tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Kesehatan. P3M mendesak bapak Budi Gunadi Sadikin untuk dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan mempunyai ekosistem yang berbeda signifikan dengan sektor kesehatan.
UU Kesehatan Pasal 152 Ayat (1) UU 17/2023 memandatkan, ketentuan pengaturan pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur melalui Peraturan Pemerintah. Begitu pula pada Ayat (2), ketentuan lebih lanjut rokok elektronik diatur melalui Peraturan Pemerintah.
"Kata 'diatur dengan' Peraturan Pemerintah pada Pasal 152, sangat tegas amanatnya, sehingga seyogyanya, rokok konvensional diatur tersendiri, rokok elektronik diatur tersendiri. Keduanya, juga sebaiknya terpisah dari RPP yang memiliki ekosistem berbeda," ujarnya.
Baca juga: Larangan Penjualan Rokok, Pedagang Bisa Kehilangan Omzet |
Diskriminatif
Sarmidi juga mengingatkan bahwa perumusan RPP Kesehatan harus mengacu pada prinsip-prinsip pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan."P3M mendesak pemerintah bersama multi-stakeholder untuk merumuskan pasal-pasal alternatif terkait RPP yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan dan berkedaulatan," ujarnya.
Ia pun mengingatkan, RPP tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif merupakan kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam ‘ala al-ra'iyyah manuthun bil mashlahah. Menurutinya, kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan.
Sepanjang pembahasan RPP Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disinyalir menutup komunikasi dengan multi-stakeholders ekosistem pertembakauan. Demikian halnya dengan P3M yang memberikan masukan namun tidak diakomodir oleh Kemenkes karena diduga adanya tekanan global yang membuat pemerintah terutama Kemenkes tidak melibatkan ekosistem pertembakauan.
"Karena ketentuan tersebut, tampaknya hampir tidak mungkin ekosistem pertembakauan dilibatkan oleh Kemenkes. Padahal, petani tembakau, petani cengkeh, dan pekerja IHT yang akan menjadi korban pertama kali jika RPP disahkan. Seharusnya, dalam membuat kebijakan melibatkan objek yang hendak diatur sehingga ketemu titik tengah," imbuhnya.
Dampak buruk
Merujuk kajian P3M, dampak dari disahkannya RPP Kesehatan dengan pasal tembakau yang ada pada industri akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT seperti bahan tambahan atau pembatasan tar dan nikotin, akan membuat IHT nasional gulung tikar.Sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT sudah kepayahan karena kebijakan fiskal yang eksesif. Sejak 2020, tarif cukai hasil tembakau selalu naik dua digit padahal IHT sedang tertekan karena pandemi covid-19, disusul situasi dunia yang tidak pasti. Situasi IHT saat ini terus terpuruk terlihat dari realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target.
"Dengan kondisi itu, pemerintah perlu memberikan peluang untuk pemulihan, dengan cara, tidak ada kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025 karena sudah ada kenaikan tarif PPN terhadap hasil tembakau. Sedangkan untuk tahun 2026 dan tahun berikutnya, kenaikan tarif cukai HT disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi," ujarnya
Dengan tambahan RPP, tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang cost-nya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat.
"IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Ada 446 regulasi yang mengatur IHT. Sebanyak 400 (89,68 persen) itu berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya lima (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News