“Pertumbuhan ekonomi akan turun sekitar 0,53 persen jika pasal-pasal (tembakau) tersebut diberlakukan. Dari sisi penerimaan negara, terdapat indikasi penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun,” ungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, kepada wartawan dilansir Kamis, 18 Januari 2024.
Dalam kajiannya, INDEF juga melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri hasil tembakau dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan jika pasal-pasal tembakau di RRP Kesehatan diterapkan oleh pemerintah. Hasilnya, tidak imbang karena negara akan mengalami kerugian lebih besar.
“Perhitungan INDEF di tahun 2022 menunjukkan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar sebesar Rp34,1 triliun. Sementara, kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal-pasal tembakau dari RPP Kesehatan ini sebesar Rp103,08 triliun,” jelasnya.
Selain itu, bagi aspek ketenagakerjaan, dari hasil pengukuran INDEF, Tauhid memaparkan bahwa pemberlakuan pasal-pasal tembakau tersebut juga akan mengakibatkan penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri hasil tembakau. Kemudian, serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau juga akan tergerus hingga sebesar 17,16 persen.
“Seperti yang pernah saya sampaikan, industri hasil tembakau tidak ingin mati di lumbung sendiri karena ada banyak hal yang sangat bergantung pada industri hasil tembakau. Bahkan, termasuk di dalamnya sektor kesehatan,” ujarnya.
Baca juga: Bikin Rugi Pedagang, Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Bisa Menghambat Usaha |
Tauhid melanjutkan bahwa kajian ini penting dilakukan oleh INDEF mengingat besarnya kontribusi industri hasil tembakau dan ekosistemnya terhadap perekonomian negara. Pasal-pasal tembakau yang dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah minimal batang rokok dalam setiap kemasan, larangan pemajangan produk, dan pembatasan iklan.
Kesimpulannya, lanjut Tauhid, biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara. Sementara, pemerintah tetap membutuhkan penerimaan negara. Begitu pula dengan program-program kesehatan yang sumber pembiayaannya berasal dari penerimaan negara.
“Intinya, biaya kesehatan masih jauh lebih kecil dibandingkan dampak ekonomi yang akan ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan. Maka dari itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini dan karena itu kami menyarankan agar pasal-pasal tembakau dapat dikeluarkan dari RPP Kesehatan,” kata Tauhid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News