Ilustrasi pekerja industri hasil tembakau. Foto: dok MI.
Ilustrasi pekerja industri hasil tembakau. Foto: dok MI.

Khawatir Matikan IHT, Buruh Tolak Aturan Turunan UU Kesehatan

Husen Miftahudin • 16 Oktober 2024 09:33
Jakarta: Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto AS menyebut PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terhadap Industri Hasil Tembakau secara nyata dapat mematikan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) nasional.
 
Dikatakan Sudarto, saat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan.
 
"Kebijakan ini secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. Ada kurang lebih 226 ribu tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait yang akan terkena dampak dari regulasi tersebut," kata Sudarto dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 16 Oktober 2024.
 
Dirinya menyesalkan karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak pernah melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal tembakau RPP Kesehatan. "Padahal, produk tembakau adalah produk legal yang diakui negara. Dan sektor IHT juga telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara dan menyerap jutaan tenaga kerja," ungkap dia.
 
Oleh karena itu, dirinya meminta Kemenkes mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai telah mengkhianati amanah UU Kesehatan yang sama sekali tidak melarang produk tembakau.
 
Sudarto menilai aturan produk yang telah berlaku saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau. "Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif," katanya.
 
Baca juga: Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Membingungkan, Konsumen Dirugikan
 

Dampak ekonomi bakal hilang Rp308 triliun

 
Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad yang menilai kebijakan terkait industri rokok sehubungan dengan aturan-aturan yang tertera pada PP 28/2024 dan RPMK, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
 
Adapun PP 28/2024 dan RPMK mengatur tentang kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang
 
Menurut Tauhid, jika aturan ini dilaksanakan maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan tujuh persen dari total penerimaan perpajakan nasional.
 
"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja," katanya.
 
Tauhid mengungkapkan INDEF memberikan rekomendasi agar pemerintah melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif terhadap penerimaan dan perekonomian negara.
 
Selain itu, juga mendorong terjadinya dialog antarkementerian dan lembaga yang berkepentingan dengan IHT, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.
 
"Jika kebijakan dan regulasi tersebut tetap diberlakukan, pemerintah diharapkan dapat mencari sumber alternatif penerimaan negara yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak," beber Tauhid.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan