Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

Rokok Disebut Bukan Penyebab Stunting dan PTM, Ini Hasil Kajiannya

Husen Miftahudin • 12 Oktober 2023 09:48
Jakarta: Adanya dugaan penyebab stunting karena produk hasil tembakau (rokok) dinilai kurang tepat oleh tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB).
 
Hasil kajian menunjukkan produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama. Akan tetapi pendidikan, pendapatan, dan kualitas lingkungan masyarakat yang mendorong terjadinya stunting dan penyakit tidak menular (PTM).
 
Kajian tersebut dilakukan oleh PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan PTM. Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada masyarakat di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.

Direktur PPKE FEB UB Candra Fajri Ananda mengatakan, berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.
 
Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM. Hasil penelitian ini juga menunjukkan aktivitas fisik dan pola makan minum juga berpengaruh pada PTM di Indonesia.
 
"Hasil kajian kami menunjukan bahwa konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM," kata Candra dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 12 Oktober 2023.
 
Candra menyampaikan, temuan riset PPKE FEB UB terkait stunting menunjukkan tinggi badan orang tua, pendidikan, pendapatan, dan lahir badan cukup bulan berpengaruh signifikan dalam menurunkan balita stunting. Selain itu, pendapatan dan sanitasi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan balita stunting.
 
Ia juga menegaskan, temuan penting lain dari kajian PPKE FEB UB menunjukkan konsumsi rokok orang tua balita, terutama ayah, bukan merupakan faktor utama penyebab terjadinya stunting di Indonesia. Hal ini karena variabel orang tua merokok hanya memiliki kontribusi sebesar 0,7 persen terhadap terjadinya stunting di Indonesia.
 
"Dukungan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah juga memiliki peran besar dalam penurunan stunting, dimana belanja kesehatan melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dan peningkatan anggaran kesehatan melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) berdampak signifikan terhadap penurunan angka stunting di Indonesia," papar dia.
 
Salah satu rekomendasi PPKE FEB UB dalam kajian itu adalah diperlukan penguatan kolaborasi lintas stakeholders melalui program dan kegiatan serta pembiayaan dalam penanganan PTM dan stunting. Penguatan pembiayaan kesehatan juga perlu perbaikan dari sisi penggunaan DBHCHT di tingkat Kabupaten/kota untuk dalam rangka akselerasi penurunan PTM dan stunting.
 
Baca juga: Kasus Stunting di Jakarta Mencapai 22 Ribu, Ini Penjelasan Pj Gubernur
 

Kambinghitamkan rokok


Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan berpandangan, menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan alasan menurunkan stunting tidaklah beralasan.
 
"Upaya framing dengan mengkambinghitamkan rokok sebagai penyebab stunting, agar pemerintah menaikkan tarif CHT justru memperbesar dampak negatif seperti semakin maraknya rokok ilegal," tukas dia.
 
Henry mengatakan kondisi industri hasil tembakau (IHT) legal saat ini sedang injury. Karena itu, diperlukan relaksasi agar IHT legal dan mata rantai yang berelasi di sepanjang industri ini bisa pulih dan bertahan. Ia juga memohon agar pemerintah untuk me-review kembali kenaikan tarif CHT di 2024 dengan menyesuaikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
 
"Gappri berharap ke depan, IHT legal mendapatkan jaminan kepastian hukum untuk tetap hidup dan tumbuh sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi kita," kata dia.
 
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengajak semua pihak mencari resultan dari beberapa kepentingan untuk mencari solusi bersama. Pada titik inilah dibutuhkan kolaborasi yang pada prinsipnya adalah gotong royong.
 
"Kita berjalan bersama-sama. Seperti Pancasila itu ada lima sila, kalau diperas ada persatuan, kalau diperas lagi itu gotong royong. Sekali lagi, kami tidak ingin menang sendiri. Mari kita gotong royong untuk mensukseskan program pemerintah," ujar dia.
 
Guru Besar dan Direktur Rumah Sakit UB Sri Andarini berpandangan, proses terjadinya stunting itu tidak sesaat, terdapat direct dan indirect determinants. Menurut Sri Andarini, direct determinants itu ada household dan faktor keluarga, menyusui, infeksi, dan lainnya. Kemudian, indirect determinants itu ada politik ekonomi, pendidikan, kultur sosial, lingkungan, dan masih banyak lainnya.
 
"Stunting dan non communicable disease (NCD) perlu terus dikawal karena prevalensi di Indonesia masih sangat tinggi. Penanganan stunting dan NCD perlu secara holistik komprehensif, berkesinambungan, fokus pada pasien, orientasi keluarga, prinsip koordinasi dan kolaborasi, utamakan pencegahan dan mempertimbangkan lingkungan tempat tinggal dan kerja," ujar Sri Andarini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan